Sebetulnya, suamiku adalah pilihanku. Nenek tidak ikut campur.
Nenek melengoskan wajah ketika aku masuk. Aku tertegun bingung, mencari cara mulai mengutarakan maksud kedatanganku. Kalimat-kalimat yang telah kusiapkan dari Jakarta mendadak bagai menggumpal di kerongkongan, sukar dikeluarkan. Sorot mata nenek yang biasanya meneduhkan kini terlihat dingin. Sanggupkah aku berseteru dengannya demi Toni?
“Nenek cuma tak mau kamu mengalami nasib sama seperti nenek,” ucap nenek, melegakan hatiku. Tadinya aku mengira nenek akan marah tanpa mau mengungkapkan alasan. Kini, walaupun alasan nenek berlatar dendam masa silam, setidaknya nada suaranya yang rendah saat mengucapkan kalimat tersebut sedikit mencairkan resah sekaligus ketegangan di hatiku. Kuletakkan oleh-oleh di sudut meja.
“Kamu jangan bilang nenek pendendam. Sama sekali tidak, Marsa. Nenek sudah lama memaafkan lelaki itu. Tapi, pengkhianatan yang dilakukannya itu tak mungkin terhapus dari ingatan nenek.” sambung nenek, kali ini seraya menatapku lembut. Kecemasan yang menumpuk di dadaku perlahan mencair. Aku meraih pundak nenek, lalu membawanya ke kursi. Aku memang belum mengucapkan sepatah katapun, tapi kini aku telah jauh lebih siap. Hanya tinggal menunggu saat yang tepat.
Aku tahu dari ibu tentang kisah asmara nenek dengan lelaki itu di masa lalu. Ibu berulangkali menceritakannya sejak aku duduk di bangku SMP. Nenek menikah dengan lelaki itu pada usia belasan tahun seperti kebanyakan perempuan desa masa itu. Meskipun melalui perjodohan, nenek sangat mencintai lelaki itu, karena diam-diam telah mengidamkannya. Karena itu nenek sangat bahagia. Sayangnya umur pernikahan mereka hanya sampai empat pekan. Karena pada pekan kelima lelaki itu meninggalkan nenek, menikah dengan gadis desa tetangga. Jika setelah itu nenek menikah dengan lelaki yang kemudian menjadi kakekku, itu hanya lantaran terpaksa sebagai pelarian. Nenek tetap memendam cinta sejatinya pada lelaki yang tinggi ramping, dan berwajah tampan itu. Ketampanan yang diwariskan kepada Toni.
“Untung kakekmu sabar, dia tetap setia menjaga nenek sambil terus bersabar suatu ketika berhasil mendapatkan cinta nenek. Ibu tidak tahu apakah ketika kakek meninggal, nenek sempat mencintai beliau. Mungkin ya, meski tidak sepenuhnya.” Kubayangkan sosok nenek dan lelaki itu di kala sama-sama muda. Mereka tentu pasangan ideal: yang lelaki tampan dan perempuan rupawan. Adakah perempuan membuat lelaki itu berpaling dari nenek yang lebih cantik?
“Jangan kamu katakan Toni beda dari kakeknya,” kata nenek lagi, membuyarkan lamunanku. “Toni memiliki ciri-ciri yang sangat mirip dengan kakeknya. Percayalah, Marsa.” lanjut nenek, mengatupkan kembali bibirku yang sudah terbuka mau bicara. Nenek benar-benar tahu semua yang akan kukatakan. Nenek memang memiliki kepintaran melihat sesuatu yang akan terjadi di depan. Tapi apakah aku harus juga percaya pada firasatnya yang mengerikan jika aku tetap menikah dengan Toni?
Kepada ibu, nenek bilang hidupku bukan saja tidak bahagia, tapi juga akan terus menerus diterpa masalah jika menikah dengan Toni. Tetapi nenek tidak menjelaskan penyebab kelak kami tidak bahagia. Apakah kami akan diterpa masalah? Kata ibu, firasat dan perkiraan-perkiraan nenek tentang kejadian yang belum terjadi acapkali terbukti. Itu sebabnya banyak orang datang ke rumah nenek minta dilihatkan kejadian yang akan mereka alami di depan. Karierku yang melesat cepat di kantor telah diperkirakan nenek jauh-jauh hari. Bahkan ayah luput dari kecelakaan pesawat setelah mengikuti saran nenek membatalkan keberangkatannya.
Di atas semua itu, sebenarnya ada satu bukti lagi yang membuat keberatan nenek atas hubunganku dengan Toni sepertinya makin beralasan. Yaitu kegagalan yang menimpa perkawinan tante Fifi, adik ibuku, dengan seorang pelukis. Om Fandri, suami tante Fifi, meninggalkannya ke Paris mengejar cinta perempuan Prancis kolektor lukisan-lukisannya. Meski begitu, bagiku setiap orang memiliki kisah hidupnya sendiri-sendiri.
“Ini bukan sekadar ramalan, Marsa. Tapi bahkan lebih dari firasat,” suara nenek terdengar lagi, lebih pelan namun tegas, seakan tidak bisa dibantah.” Batalkan niatmu menikah dengan Toni. Masih banyak kesempatan memilih laki-laki yang lebih pantas untuk kamu. Tidak perlu resah dengan usiamu yang baru 30.” Kalimat nenek kali ini bagai peluru tajam menghunjam jantungku. Aku memilih keluar meninggalkan nenek karena khawatir tak mampu menahan ledakan emosi. Aku duduk di beranda, menenangkan diri. Mencoba mengingat-ingat kembali secara rinci pertemuanku dengan Toni.
Artikel selanjutnya Ramalan Nenek II
Source: GoodHouseKeeping Edisi September 2011, Halaman 108
(vem/tik)