Vemale.com-
Kisah sebelumnya: Karena Cinta, Saya Rela Tinggal di Negara Konflik II
Keputusan Yang Sulit!
Saat saya tengah memerhatikan berita di TV, salah satu reporter menyatakan bahwa pemerintahan negara lain menghimbau warganya untuk segera keluar dari Mesir. Saya juga mendengar bahwa Kedutaan Besar Amerika Serikat sampai mengeluarkan ongkos $1,500 untuk transportasi warga Amerika ke Eropa. Di saat itu juga, saya tergerak untuk segera meninggalkan Mesir.
Siapa yang bisa memprediksi berapa lama keadaan ini akan membaik, atau bagaimana revolusi di negara ini akan berangsur? Semua itu sering terbesit di pikiran saya. Namun sayang, hal itu hanya keinginan saya semata. Toh, Eslam juga tidak bisa ikut dengan saya, karena ia tidak memiliki izin visa. Akhirnya saya pun mengurungkan niat untuk kembali ke New Jersey.
Namun ketika saya menjelaskan kepadanya kalau saya tidak jadi pulang, Eslam justru memaksa saya untuk segera meninggalkan Mesir. Ketakutan Eslam bisa dibilang cukup beralasan, karena hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi, apalagi ia sangat khawatir kalau para demonstran akan mengincar warga negara asing yang tinggal di sini. Tak hanya itu, masih banyak “efek samping” yang bisa mencuat dari kerusuhan ini: seperti situasi jalan di Kairo yang tidak aman karena para pencopet yang berkeliaran.
Meskipun demikian, tetap saja saya tidak memedulikan kekhawatirannya itu. Yang hanya saya inginkan saat itu adalah bersama Eslam, apapun yang terjadi. Berbagai cara persuasif saya kerahkan agar saya selalu bisa berada di sampingnya. Dan akhirnya, ia menyetujui keputusan saya ini.
Untuk keamanan saya sendiri, selama satu minggu saya hanya berada di dalam rumah, dan Eslam hanya keluar untuk membeli makanan. Begitu juga yang dilakukan oleh teman-teman kami. Alat komunikasi apapun tak terpakai karena semua akses komunikasi diputus oleh pemerintah.
Dan setelah 18 hari kami berdiam diri di rumah, akhirnya Mubarak mundur dari jabatannya. Saya dan Eslam turut merayakan kebahagiaan yang dirasakan oleh masyarakat Mesir lainnya. Rasanya kami seperti dihidupkan kembali! Tak lama setelah tragedi turunnya Mubarak, keadaan Mesir pun kembali kondusif.
A New Normal
Walaupun aksi protes yang menyeruak pada saat itu tidak seburuk yang orang pikirkan, namun situasi di sini sebenarnya belum benar-benar reda. Walau begitu, kami masih bisa menikmati sore di sepanjang jalan Mesir, bekerja, shopping, hingga bersosialisasi kembali. Ya...walaupun nantinya saya dan Eskam tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di Mesir, alhasil sebagai antisipasi, Eslam pun mengajukan izin visa meninggalkan Mesir untuk sementara.
Lagipula, rencana kami adalah tinggal bersama di rumah orangtua saya di New Jersey dan merencanakan sebuah pernikahan yang sakral di sana. Namun akhirnya kami memutuskan untuk memajukan tanggal pernikahan kami. Karena keinginan saya dan Eslam sebenarnya tidak muluk-muluk: kami berdua hanya ingin selalu hidup bersama.
Dan anehnya, di tengah konflik internal negara Mesir yang saya dan Eslam lalui, kejadian tersebut justru menguatkan cinta kami berdua. Memberikan suatu pembelajaran, bahwa cinta tak hanya di saat Anda dalam keadaan senang, tapi juga dalam keadaan susah. Yes, for better or worse. [initial]
Source: Cosmopolitan Edisi Mei, halaman 203
(cosmo/yel)