Vemale.com-
Kisah sebelumnya: Karena Cinta, Saya Rela Tinggal di Negara Konflik
Engaged in Egypt
Sesampainya di rumah, sebuah email dari Eslam sudah tertera di inbox email pribadi. Yang membuat saya semakin percaya kalau ia adalah The One adalah ketika melihat sebuah video yang ia lampirkan di email-nya itu. Ia membuat sebuah slide show dari perjalanan kami selama dua minggu tersebut, dan ternyata diam-diam ia mengambil foto-foto saya secara candid. Seiring berjalannya waktu, komunikasi kami semakin intens.
Saya dan Eslam mempunyai waktu-waktu tertentu untuk agenda video call, plus juga tak henti-hentinya mengirimkan kabar satu sama lain via Messenger. Meskipun kami berdua tidak mendeklarasikan hubungan, tapi saya dan Eslam tahu kalau jalinan ini lebih dari sekedar pertemanan. Tak jarang, kami sering merencanakan pertemuan untuk kedua kalinya. Ya, antara ia yang berkunjung ke New Jersey, atau saya yang akan kembali menemuinya di sana. Seandainya ada sebuah keajaiban untuk saya dan Eslam.
Beberapa bukan kemudian, berita baik pun berpihak pada saya. Mendapat kabar kalau saya tersertifikasi untuk mengajar di sana, hal itu tentu menjadi kesempatan emas buat saya. So, pada Oktober 2009 silam, saya terbang menuju Kairo – tempat di mana saya merasakan chemistry yang begitu kuat dengan seseorang yang belum dikenal untuk pertama kalinya.
Dan entah kenapa, sebelum pesawat landing, ketegangan saya semakin terasa. Sesampainya di sana, melihat sosoknya yang begitu hangat membuat saya semakin ingin segera memeluknya. Namun hal itu saya urungkan, karena perbedaan kultur kami yang sangat jauh.
Setelah pertemuan kami yang begitu memorable, saya dibawa ke rumah ibunya untuk tinggal sementara di sana sampai masa kerja saya habis. Sementara saya menginap di sana, Eslam tinggal di sebuah apartemen yang tidak (terlalu) jauh dari rumahnya.
Di sini, selama setengah hari waktu saya dihabiskan untuk mengajar, dan Eslam pun sibuk dengan pekerjaannya sebagai tour guide. Meskipun waktu kerja kami tidak teratur, namun sebisa mungkin kami bertemu dan melakukan aktivitas yang tidak monoton. Dari agenda kencan yang terkadang spontan, hubungan kami pun berjalan semakin kuat, and we officially become a couple. Dua bulan kemudian, ia pun melamar saya!
Semakin lama tinggal di Mesir, saya semakin tertarik dengan cara pandang penduduk Mesir, dibanding dengan perspektif saya waktu itu sebagai turis. Saya banyak belajar budaya dan kultur yang ada di sana. Ditambah, saling menghargai antar sesama penduduknya pun sangat terasa di Mesir.
Tak pelak, saya dan Eslam kerap menghabiskan malam yang superseru di apartemen kami sendiri. Selayaknya pasangan lain, agenda kencan kami dilengkapi dengan nonton DVD atau masak bersama. Serasa hari-hari yang kami jalani sangat bahagia! Tidak terbayang, bagaimana kelanjutan hidup kami saat sudah bersama nantinya.
Protes dan Teror
Rasa bahagia yang kami alami, berbanding terbalik dengan aksi protes masyarakat Mesir untuk menjatuhkan presiden Hosni Mubarak saat itu. Tepat pada 25 Januari, berlokasi di Tahrir Square – yang berjarak hanya beberapa menit dari apartemen kami, amarah para demonstran tampak tidak terkontrol.
Tentu hal ini membuat Eslam sangat khawatir dengan keberadaan saya. Sebagian besar masyarakat Mesir saat itu terlalu lelah dengan sistem pemerintah yang dijalani Husni Mubarak selama 30 tahun. Meski sebelumnya banyak protes yang menyeruak namun situasi masih bisa dibilang dalam keadaan damai.
Tak henti-hentinya kami melihat berita di TV; semakin hari gemuruh masyarakat Mesir semakin mencekam. Unjuk rasa besar-besaran juga telah menyebar ke sejumlah kota, bukan hanya Kota Kairo, tapi juga sampai ke kota Alexandria.
Selain itu, sasaran pengunjuk rasa kini mulai menyebar dari gedung-gedung pemerintah, gedung televisi radio pemerintah, istana kepresidenan, sampai ke tempat tinggal Mubarak di Alexandria. Suara letusan, tangisan, dan sambaran bom molotov pun menjadi “menu” sehari-hari yang kami dengar di apartemen.
Parahnya lagi, semakin banyaknya masyarakat Mesir yang memanfaatkan social media sebagai aksi protes, pemerintah pun akhirnya mengambil tindakan untuk memutuskan semua akses internet dan telepon. Satu-satunya informasi yang bisa kami terima pada saat itu hanyalah saluran berita TV yang menampilkan kekerasan, kekejaman, dan pembunuhan di mana-mana. [initial]
Perjuangan cinta mereka belum berakhir. Silakan baca: Karena Cinta, Saya Rela Tinggal di Negara Konflik III
Source: Cosmopolitan Edisi Mei, halaman 203
(vem/yel)