Career Woman: THEN VS NOW

Fimela diperbarui 23 Mei 2012, 07:00 WIB

Jika Anda salah satu penggemar film seri Mad Men, maka Anda pasti sudah tahu betapa peluang kerja bagi wanita di dunia bisnis lebih banyak berkutat pada profesi sekretarial dan resepsionis. Well, it’s not a bad job, tapi yang pasti sangat membatasi aspirasi para wanita yang ingin sesuatu yang...lebih. (Sedikit trivia, tahukah Anda kalau asal kata sekretaris berasal dari secret? Yang berarti pekerjaan mereka berkaitan dengan menyimpan rahasia perusahaan atau bos, jadi sebenarnya, tak jauh berbeda dari secret agent kan?)

Tentunya sekarang situasi bagi para wanita karier sudah berbeda sama sekali, karena peluang karier mereka begitu luas, bahkan di bidang profesi yang sebelumnya didominasi oleh pria sekali pun, seperti engineering, kontraktor, militer dan politik. Tak melulu wanita mesti mengambil pekerjaan yang dipandang lekat dengan karakter wanita yang lembut dan ramah, seperti sekretaris, perawat dan pramugari, yang sampai tercetus jenis pekerjaan bernama pink collar. Bahkan, beberapa komentar sumbang mengatakan saat ini banyak wanita karier yang telah meninggalkan (atau secara sadar menanggalkan) citra kewanitaannya supaya bisa menjadi one of the boys. Alhasil, mereka pun tak segan untuk berkecimpung dalam aksi tak terpuji seperti korupsi dan kolusi. Namun untuk hal ini, Cosmo tidak menyetujuinya, karena aksi kriminalitas bukanlah sesuatu yang spesifik dalam satu gender saja.

Anyway, yang jelas banyak sekali perbedaan yang signifikan antara wanita karier, dulu dan sekarang. Jika dulu diskriminasi (dalam bentuk pelecehan) merupakan sesuatu yang umum, maka sekarang adalah suatu pelanggaran yang bisa diakhiri dengan gugatan hukum; jika dulu peran sebagai istri dan ibu menjadi prioritas, maka sekarang keseimbangan antara kehidupan personal dan karier lebih didambakan (ini berkaitan dengan mindset); dan jika zaman dulu tingkat produktivitas bergantung pada keterbatasan pilihan pembalut, sekarang tentunya tidak sama sekali. Huh? Penasaran, kan? Read on!

The Reason

THEN

Merupakan sesuatu yang umum untuk wanita segera resign jika mereka a) menikah; b) hamil, karena bagi mereka, pekerjaan hanyalah sebagai pengisi waktu atau suatu kegiatan untuk mensuplemen pemasukan keluarga, tapi tetap, sosok suami dianggap sebagai kepala keluarga utama.

NOW

Walau sebenarnya tetap sama (wanita tetap ingin menikah dan mempunyai anak), tapi ada kecenderungan lebih untuk mendapat keseimbangan antara dunia rumah tangga dan karier. Karena bagi mereka, karier bukan hanya untuk melengkapi pemasukan suami, tapi juga sebagai self-identity dan untuk memuaskan diri sendiri. Bahkan, jika dulu sering wanita resign untuk mengikuti suami yang ditugaskan ke kota lain, sekarang justru yang kerap terjadi adalah kebalikannya.

“Dan untungnya saat ini terjadi pergeseran mindset dalam pikiran masyarakat,’ ujar Marina J. Salya, psikolog. “Kita sekarang tidak lagi beropini negatif ketika melihat seorang wanita yang bekerja di kantor dan suami menjadi ‘wiraswasta’ atau bekerja freelance di rumah.” Berkat arus informasi yang senantiasa mengucur bebas, maka secara otomatis pola pikir dan aspirasi wanita pun menjadi semakin luas.

The Clothes

THEN

Tampilan wanita terbatas pada pakaian kantor saja, bahkan zaman dulu di Indonesia, wanita sempat diwajibkan mengenakan kebaya yang – di mata modern sekarang ini – terlihat sangat keibuan dan kuno. Dan pasti Anda akan memutar bola mata melihat “dress code” wanita karier di tahun 80an (diwakili oleh film Working Girl) di mana power blazer, shoulder pad, dan tatanan rambut yang luar biasa besar menjadi tren, yang untungnya tidak berlangsung lama (fiuhh..). Bagi yang gemar vintage clothing, mungkin akan memilih berkarier di tahun 60an karena pada saat itu pakaian bermotif dan berwarna terang kerap dipakai, sehingga pastinya lebih memanjakan mata.

NOW

Well, walau sekarang tampilan wanita karier terlihat lebih sleek dan profesional, tapi cenderung membosankan karena sapuan warna yang aman seperti hitam, abu-abu, putih dan krem. “Walau begitu, untuk beberapa bidang pekerjaan – seperti PR atau mereka yang bekerja di majalah – wanita kerap memilih pakaian yang memiliki fungsi ganda: bisa dipakai untuk bekerja dan untuk ke mal,” ujar Dr. Marina.

The Womenly Problem

THEN

Did you know, kalau zaman dulu jenis pembalut wanita pilihannya hanya ada satu, dan itu pun bahannya terbuat dari handuk? Dan yang membuatnya lebih miris, pembalut berbahan handuk ini biasanya dipakai berulang kali oleh sang pemakai. Yang berarti, setiap masa menstruasi datang, maka para pekerja kantor wanita mesti langsung pergi ke toilet, bukan untuk membuangnya seperti yang lazim dilakukan sekarang ini, tapi untuk mencucinya!

“Nenek saya melakukan hal tersebut di tahun 50an,” ujar Laras, 36 tahun, Manajer. “Dan dia harus mencucinya. Karena kalau menunggu terlalu lama, akan susah menghilangkan nodanya, apalagi bahannya handuk. Belum lagi aroma yang pastinya akan ‘semerbak’ jika tidak langsung dicuci.” Yang jelas, keterbatasan pilihan pembalut sangat memengaruhi mobilitas dan produktivitas wanita. Karena sekali mereka menstruasi, maka mereka mesti menghabiskan waktu lama di kamar mandi. Such a time waster, huh?

NOW

Oh boy, rasanya sudah tidak perlu disebut lagi ya betapa banyaknya pilihan pembalut. Setiap bulan sepertinya selalu saja ada produk pembalut baru yang muncul menawarkan jenis pembalut yang kian tipis. “Bahkan jenis pembalut jenis sekarang bisa tak terasa sama sekali ketika dipakai,” lanjut Dr. Marina. “Jadi tak bisa dipungkiri kalau faktor yang sebenarnya terlihat trivial seperti pembalut pun bisa saja memengaruhi keefektivitasan kerja kita.” Plus, obat yang bisa meringankan efek haid pun sudah banyak tersedia. So be grateful with the choice ladies!

Pada 2011, Business and Professional Women’s Foundation (BPW) melansir hasil survei mereka mengenai tujuan bekerja wanita masa kini. Dan ternyata hasilnya menunjukkan bahwa mayoritas memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang menyenangkan, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hasil survei ini juga menunjukkan kalau wanita menginginkan alokasi waktu tak hanya untuk keluarga (yang bisa mencakup ibu, adik, keponakan), tapi juga untuk hobi (55%), olahraga (43%) dan hang out (44%). [initial]

Source: Cosmopolitan, Edisi April 2012 halaman 271

(cosmo/yel)