Vemale.com- Sejumlah penelitian internasional menunjukkan bahwa 77% bayi berusia di bawah tiga bulan di seluruh dunia mengalami regurgitasi paling tidak sekali dalam sehari. Puncak regurgitasi terjadi pada usia 4 bulan dan mencapai 81%. Sementara itu, di Indonesia kondisi serupa juga terjadi pada 75% bayi berusia 0-3 bulan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 1 dari 3 ibu di seluruh dunia perlu mewaspadai dampak regurgitasi yang terjadi pada bayi mereka.
Untuk memahami lebih dalam tentang gejala regurgitasi atau yang lebih dikenal dengan istilah “gumoh”, dan dampaknya pada bayi serta bagaimana cara mengatasinya, 2 dokter spesialis pencernaan anak, Prof. Yvan Vandenplas dan Dr Badriul Hegar SpA, PhD hadir sebagai pembicara pada Kongres Perhimpunan Gastroenterologi, Hepatologi dan Nutrisi Anak Indonesia pada hari Kamis, 3 Mei 2012 di Hotel Panghegar, Bandung. Pada sesi edukasi yang diselenggarakan oleh PT Nutricia Indonesia Sejahtera, Yvan Vandenplas, dari divisi pediatrik gastro enterologi (spesialis pencernaan anak) University Brusel di Belgia dan Badriul Hegar, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSCM Jakarta, menjelaskan lebih dalam tentang dampak “gumoh” terhadap pertumbuhan dan perkembangan bayi serta bagaimana cara mengatasinya secara efektif.
Yvan Vandenplas menjelaskan, “Gejala regurgitasi sering dikaitkan dengan reflux pada saluran cerna atau lebih dikenal dengan istilah ‘happy vomitting’ yang banyak menimbulkan kecemasan bagi para Ibu. Regurgitasi merupakan hal yang menjadi perhatian pada 1 dari 3 ibu di seluruh dunia.” Yvan Vandenplas menjelaskan lebih lanjut bahwa bayi dengan kondisi regurgitasi berlanjut juga dapat mengalami kondisi sulit menelan yang disebut dysphagia. Setiap nutrisi yang masuk ke dalam lambung bayi belum sempat dicerna dengan sempurna sehingga berpotensi menyebabkan malnutrisi. Tidak hanya itu, rasa sakit juga akan dialami oleh bayi karena adanya iritasi asam lambung dari perut ke tenggorokan.
Badriul Hegar menambahkan, “Kondisi global ini juga dialami ibu-ibu di Indonesia. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada tahun 2004 di RSCM, ditemukan bahwa bayi yang mengalami regurgitasi lebih dari 4 kali sehari mengalami kenaikan berat badan yang lebih rendah pada 4 bulan pertama usia bayi. Namun Hegar melanjutkan bahwa penelitian ini juga membuktikan bahwa bayi yang mendapatkan ASI eksklusif lebih jarang mengalami regurgitasi dibandingkan dengan bayi yang tidak mendapat ASI eksklusif.
Yvan dan Hegar mengatakan bahwa regurgitasi tidak dapat dicegah – yang dapat dilakukan adalah menurunkan resikonya. Pemberian ASI eksklusif telah terbukti dapat mengurangi terjadinya regurgitasi.
Namun, orangtua terutama para Ibu biasanya cemas terhadap kondisi fisiologis bayi dengan regurgitasi dan cenderung untuk mencari bantuan dari dokter untuk mengurangi frekuensi regurgitasi atau bahkan mencari pilihan pada formula yang ada di pasaran. Secara medis, penanganan regurgitasi pada bayi harus mengutamakan aspek keyakinan dari orang tua terutama Ibu bahwa hal ini sebenarnya merupakan kondisi medis yang normal. Meskipun di pasaran sebenarnya sudah tersedia produk susu formula untuk mengurangi frekuensi regurgitasi yang harus diperoleh dengan resep dokter, namun Yvan dan Hegar menegaskan bahwa ASI eksklusif merupakan solusi terbaik untuk kondisi ini.
Ditmar Koster, Presiden Direktur PT Nutricia Indonesia Sejahtera mengatakan, “Educational support melalui simposium ilmiah merupakan salah satu wujud dari komitmen Nutricia untuk memberikan kontribusi dalam meningkatkan status nutrisi dan kesehatan bayi dan anak Indonesia. Kegiatan educational support ini dilakukan dengan melakukan kolaborasi yang harmonis dengan para profesional kesehatan dan institusi kesehatan baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Kolaborasi serupa juga kami lakukan dengan universitas dan lembaga Pemerintah untuk mengidentifikasi ilmu dan teknologi nutrisi yang terbaik dalam rangka pemenuhan kebutuhan nutrisi bayi dan anak di Indonesia."
(vem/bee)