Fimela.com, Jakarta Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Pendidikan, Retno Listyarti, kembali melakukan ekspos hasil pengawasan kasus-kasus di bidang pendidikan yang dilaporkan maupun yang diawasi oleh KPAI sepanjang 2018.
Sebelumnya pada April 2018, bidang pendidikan KPAI mengekspose kasus-kasus pendidikan selama bulan Januari sampai Maret 2018, di mana laporan tersebut didominasi oleh kekerasan seksual di sekolah yang dilakukan oknum guru.
Selanjutnya, untuk kasus-kasus pendidikan selama bulan April sampai Juli 2018 dilaksanakan pada Agustus 2018,pada rentang waktu tersebut, kasus di pendidikan didominasi oleh kekerasan fisik dan bullying di sekolah, baik yang dilakukan siswa terhadap siswa lainnya, maupun yang dilakukan oleh pendidik terhadap anak didiknya.
Siswa diborgol hingga dihukum merokok
Biasanya sepanjang tahun selalu ada kasus-kasus anak yang menonjol. Indikator kasus menonjol adalah meluasnya pemberitaan di berbagai media massa dan viral di media sosial sehingga kasus tersebut menyedot perhatian publik selama beberapa waktu. Berbagai kasus menonjol terkait anak di bidang pendidikan selama bulan September-November 2018 adalah sebagai berikut :
Pada September 2018
KPAI melakukan pengawasan langsung kasus dugaan kekerasan terhadap siswa SMK Dirgantara, Batam (Kepulauan Riau), dimana siswa tersebut mengalami diborgol, berjalan jongkok dengan tangan diborgol, bahkan dikurung dalam sebuah ruangan sempit yang mirip sebuah sel. Kasus ini adalah kasus kekerasan pertama yang menangani pelanggaran siswa dengan borgol dan dikurung di ruangan mirip sel.
KPAI dengan difasilitasi pemerintah provinsi Kepulauan Riau kemudian melakukan rapat koordinasi dengan melibatkan OPD (Organisasi Perangkat Daerah) terkait dan juga KOMPOLNAS (Komisi Kepolisian Nasional) dan Perwakilan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (KEMDIKBUD RI).
Setelah rapat koordinasi, KPAI juga menuju Batam untuk bertemu korban dan keluarganya serta pengawasan langsung ke sekolah (SMK Dirgantara). Kunjungan ke sekolah dilakukan bersama Kompolnas dan Polres Batam. Selanjutnya KPAI juga bertemu korban dan keluarga korban bersama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terkait upaya perlindungan dan rehabilitasi terhadap korban setelah melaporkan kasus kekerasan yang diterimanya ke kepolisan.
Oktober
Pada Oktober 2018
KPAI juga melakukan pengawasan terhadap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum guru honorer di salah satu SDN di kabupaten Langkat, Sumatera Utara dengan korban 4 siswi yang masih berusia 9-10 tahun. Diperkirakan pelaku sudah melakukan aksi bejatnya beberapa tahun lamanya, namun baru terungkap sekarang karena orangtua korban melapor ke pihak sekolah maupun ke kepolisan setempat. Pelaku melakukan aksi bejatnya di kebun sekitar sekolah dan di ruang kelas saat jam istirahat berlangsung.
KPAI melakukan pengawasan langsung ke Langkat terkait kasus tersebut dan meminta pemerintah kabupaten Langkat memfasilitasi rapat koordinasi dengan OPD terkait untuk memastikan penanganan kasus dan memastikan korban di penuhi hak-haknya, seperti rehabilitasi medis dan psikologis. Rapat koordinasi juga di hadiri Kanit PPA Polres Langkat dan tiga orang perwakilan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Dalam rapat koordinasi tersebut, KPAI mendapatkan informasi bahwa pelaku dan keluarga korban dengan difasilitasi oleh Kepala Desa dan Sekretaris desa melakukan proses mediasi dengan salah satu point yang tak lazim, yaitu pelaku di usir dari Kampung tersebut dan tidak perlu mengikuti proses hukum. Itu artinya, pelaku masih bebas dan bisa kembali melamar pekerjaan sebagai guru, padahal ini sangat berpotensi kuat akan ada korban anak yang lain. KPAI sangat mengecam surat perjanjian yang jelas melawan hukum.
Masih pada Oktober 2018, KPAI juga terkejut dengan munculnya pemberitaan terkait pemberian sanksi oleh kepala sekolah terhadap sejumlah siswa SD Negeri yang ketahuan merokok di lingkungan sekolah. Sejumlah siswa yang tertangkap merokok tersebut dijatuhi sanksi oleh oknum kepala sekolah dengan disuruh menghabisakan rokok yang tersisa dibungkus rokok untuk kemudian di rekam atau divideokan.
Kebijakan kepala sekolah dalam memberikan sanksi “anak-anak disuruh merokok dan kemudian di videokan”, menuai protes sejumlah orangtua yang anaknya diberi sanksi tersebut. Sanksi tersebut juga berpotensi kuat melanggar hak anak. Selain mendapatkan tekanan psikologis karena dipermalukan, sanksi seperti itu juga tidak mendidik, bahkan tidak akan memberikan efek jera kepada anak-anak tersebut.
November
Diawal November 2018, KPAI mendapatkan laporan terkait dugaan bully dari sejumlah siswa terhadap seorang guru yang direkam dan kemudian diunggah ke media social. Viralnya video sejumlah siswa seolah-olah “berkelahi fisik” dengan seorang gurunya saat pembelajaran berlangsung di salah satu SMK swasta di kabupaten Kendal, Jawa Tengah cukup mengejutkan public. Pasalnya perilaku sejumlah siswa tersebut dianggap tak santun terjhadap gurunya meskipun saat diklarifikasi pihak sekolah menyatakan hal tersebut hanya guyonan (candaan).
Pihak Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, saat berkoordinasi dengan KPAI juga mengakui bahwa candaan seperrti dilakukan para siswa terhadap gurunya sangat tidak patut, namun Kadisdik juga tidak menyalahkan siswa 100%, karena menurutnya ada konstribusi rendahnya penguasaan kelas dari sang guru.
Pada November 2018, KPAI mendapatkan laporan masyarakat terkait kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh petugas satuan pengamanan (Satpam) di salah satu SDN di Kota Pekanbaru, Kepulauan Riau. Kepala sekolah yang mendapatkan pengaduan orangtua siswa segera melakukan pembinaan terhadap pelaku dan diberikan surat peringatan pertama.
Orangtua korban merasa kecewa karena terduga pelaku hanya diberikan surat peringatan oleh Kepala Sekolah, bukan diberi sanksi dipecat, padahal ketika pelaku masih tetap bekerja di sekolah tersebut, maka dimungkinkan atau berpotensi akan ada korban anak lainnya.
Masih pada November 2018, KPAI juga terkejut dengan kasus oknum guru berinisial U yang sehari-hari berprofesi sebagai guru PNS mata pelajaran olahraga di suatu sekolah di Kota Sukabumi. Guru U diduga melakukan tindakan asusila kepada sejumlah siswinya pada Oktober lalu.
Ia melancarkan aksinya dengan mencium, sampai memasukkan lidahnya ke mulut korban dengan dalih memberikan reward kepada prestasi siswanya saat proses pembelajaran. U yang sudah mengakui perbuatannya, awalnya hanya diberikan sanksi berupa mutasi di sekolah lain, hal ini menurut KPAI tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku. Guru pelaku berpotensi kembali melakukan aksinya di tempat tugas yang baru., artinya anak lain akan berpotensi kuat menjadi korban juga.
Untungnya, para orangtua korban memutuskan melaporkan oknum guru U kepada pihak kepolisian. Kasus ini kemudian di proses secara hukum oleh Polresta Sukabumi dengan jumlah korban mencapai 8 anak yang semuanya perempuan.
Berdasarkan kasus-kasus di atas, tergambar bahwa masih banyak pendidik yang mendisiplinkan para siswanya dengan kekerasan. Disiplin memang harus ditegakan, tetapi ketika hukuman bersifat merendahkan martabat anak didik, maka hal itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Hukuman tersebut berpotensi melanggar UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, khususnya pasal 76C.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk peserta didik sebagaimana dijamin dalam UU No. 35 Tahun 2015 pasal 54 “anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya.