Fimela.com, Jakarta Setelah menikmati keindangan puncak gunung Kelimutu dengan danau kembar tiganya, ada satu lokasi wisata yang tak jauh dari sana, sayang jika dilewatkan. Kampung Adat Wologai namanya, kampung adat yang milik suku Lio ini konon sudah berusia delapan abad.
Dari kota Ende menuju kampung adat Wologai hanya berjarak 41 km ke arah Timur Laut. Anda bisa menempuhnya dengan kendaraan bermotor kurang lebih 1 jam perjalanan. Jalan berliku, menanjak dan menurun adalah suasana yang akan ditemui sepanjang perjalanan.
What's On Fimela
powered by
Karena bukan menjadi tujuan utama (setidaknya hingga saat ini), wisatawan biasanya lebih dulu menyambangi puncak gunung Kelimutu dengan tiga danau berbeda warna yang ada di puncaknya. Setelah puas menghabiskan waktu dan menikmati keindahan puncak gunung Kelimutu, kampung adat Wologai menjadi salah satu persinggahan sebelum kembali ke Ende atau jika ingin meneruskan perjalanan ke kota Maumere di sebelah Utara.
Dari Taman Nasional Kelimutu, kampung adat Wologai hanya berjarak 16 km. Meski relatif dekat, Anda harus ekstra hati-hati memacu kendaraan di daerah ini. Jalan berliku yang menyusuri punggung gunung Kelimutu amat berbahaya kalau tidak cermat. Jurang dalam yang menganga di sebelah kiri atau kanan menjadi tempat yang amat menyeramkan jika terjadi kecelakaan.
Rombongan DBS Live More Society Daily Kindness Trip lebih dahulu ke puncak gunung Kelimutu sebelum mampir ke kampung Adat Wologai. Kesan asri akan tertangkap saat masuk di kampung yang masuk dalam wilayah Desa Wologai, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, NTT. Meski bernama kampung adat, Wologai tak seperti Kampung Naga di Garut Jawa Barat yang sama sekali tak mau menerima aliaran listrik. Aliran listrik sudah masuk dan menerangi wilayah ini.
Rumah Kayu
Ada 18 rumah adat yang berada di kampung ini. Di antara rumah itu, ada 5 rumah suku dan satu rumah besar tempat menyimpan barang pusaka milik suku. Tamu atau wisatawan tak diperkenankan untuk masuk ke rumah utama. Berbeda dengan rumah lainnya yang dapat dimasuki oleh pengunjung. “Mari silahkan masuk, lihat saja kondisi di dalam,” kata Hilarius salah seorang warga yang menjadi pemandu kami mengelilingi kampung adat Wologai.
Rumah adat di tempat ini adalah rumah panggung dari kayu yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran lear sekitar empat meter dan panjang enam meter. Tiang rumah hanya setingi 50 cm. Di setiap rumah ada teras yang menjadi tempat bersantai atau menerima tamu.
Teras
Di samping pintu masuk menuju ruang utama terdapat pahatan berbentuk payudara. “Ini menandakan kalau rumah ini adalah milik perempuan,” ujarnya.
Ruang utama rumah adat Wologai di bagi lagi menjadi bilik-bilik kecil untuk kamar, tunggu tempat memasak dan ruang utama. Atap rumah adat Wologai berbentuk kerucut dengan material dari ilalang atau sekarang menggunakan ijuk, karena lelatif lebih tahan daripada ilalang. Tinggi atap bisa mencapai empat meter.
Tubu Kanga
Di tengah-tengah area kampung adat Wologai ada pelataran yang paling tinggi di antara rumah-rumah yang lainnya. Tempat ini bernama Tubu Kanga. Wisatawan sama sekali terlarang untuk memasuki area ini. “Yang boleh masuk hanya tetua adat kami. Itu pun dilakukan saat upacara adat,” ujar Hilarius menunjuk area dengan undakan paling tinggi.
Di tengah area itu ada sebuah simbol berbentuk tuhu kecil yang akan menjadi pusat acara adat. Acara adat dilakukan dua kali di kampung Wologai. Ritual Keti Uta dilakukan setelah panen padi, jagung atau tanaman palawija lainnya. Ritual ini biasanya dilakukan pada bulan April.
Ta’u Ngga
Ritual lainnya adalah Ta’u Ngga yaitu tumbuk padi. Ritual ini biasanya dilakukan pada bulan September. Dalam ritual Ta’u Ngga ini warga desa adat Wologai tidak melakukan aktivitas apa pun. Puncak acara adat Wologai adalah Gawi, yaitu upacara yang dilakukan di tengah Tubu Kanga.