Eksklusif Vira Talisa, cerita tentang Prancis dan identitas musik

Nizar Zulmi diperbarui 17 Okt 2018, 08:08 WIB

Fimela.com, Jakarta Geliat musik 90an seringkali dilabeli sebagai golden era bagi para penikmat musik yang di generasi sekarang sudah berusia dewasa. Namun hal berbeda di lakukan Vira Talisa, yang tak larut dalam 90s fever. Ia justru menarik garis mundur yang lebih jauh ketimbang dari musik ninetees.

***

Musik Vira Talisa senantiasa disebut sebagai retro pop, dengan sentuhan bossaniva manis layaknya Frank Sinatra, Francoise Hardy, She and Him dan musik-musik sejenis. Bagi Vira, ia hanya ingin membuat musik yang telah terbiasa ia dengar dan ia suka.

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Influence Vira Talisa terbentuk dari beberapa hal, termasuk Rennes, sebuah kota di Prancis dengan segala romantismenya. Vira selama 4 tahun menetap di negeri orang demi mengenyam pendidikannya di jurusan Visual Art. Ia pun tak menyangka, hubungannya dengan Perancis tak hanya sebatas tentang pendidikan, tapi sampai menuntunnya ke dunia musik.

"Lebih seriusnya mungkin waktu kuliah karena lingkungannya mendukung. Banyak temen-temen gue di sana yang emang musisi profesional, tapi sekampus sama gue. Jadi pulang kampus sering ngegigs, dan kayanya pengen deh hidup seperti ini," tutur Vira Talisa dalam sesi interview bersama Fimela.com belum lama ini.

Berawal dari kegemeran mengcover lagu di Soundcloud, perlahan ia mulai mendapat motivasi dan dukungan untuk membuat karyanya sendiri. Ia pun dipertemukan dengan rekan seperjuangan, dengan kecintaan yang sama di musik yang ikut andil mengantarkannya seperti sekarang.

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Extended Play berjudul Walking Back Home (2016) yang dirilisnya di bawah naungan Orange Cliff Records menandai debut Vira Talisa di jalur musik. Konsistensi sebisa mungkin ia jaga, meski berlayar di samudera industri sidestream tidaklah semudah jalur yang lebih ramai. Di tahun 2018 Vira Talisa merilis Down in Vieux Cannes sebagai karya pertamanya yang menggabungkan bahasa Inggris dan Prancis.

Dalam sesi wawancara bersama Fimela.com, Vira Talisa membahas tentang influence, kenangan di Prancis sampai suka duka menjadi musisi independen. Simak juga foto-foto eksklusif kami yang mengiringi cerita Vira tentang perjalannya bermusik.

2 dari 3 halaman

Pencarian, Influence dan Perancis

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Kontak pertama Vira Talisa dengan musik terjadi sekitar 22 tahun yang lalu. Apa yang diraihnya kini merupakan satu titik dari perjalanan dan keputusan-keputusan yang ia ambil dalam hidup.

Tak dipungkiri, keputusannya 'bertualang' di Prancis punya andil besar dalam keseriusannya menekuni musik. Seperti jodoh, kadang datangnya tak disangka-sangka.

Awal pertemuan Vira Talisa dengan musik seperti apa?

Awal banget ketemu musik dari kecil, umur 3 tahun gitu. Jadi emang orangtua gue suka nonton film, dan setiap nnton film gue selalu perhatiin musiknya. Dulu punya piano kecil beli di pasar, dan setiap abis nonton gue selalu mainin melodi soundtracknya. Akhirnya gue les piano. Mungkin lebih seriusnya waktu kuliah karena lingkungannya mendukung. Banyak temen-temen gue di sana yang emang musisi profesional, tapi sekampus sama gue. Jadi pulang kampus sering nge-gigs, dan kayanya pengen deh hidup seperti ini.

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Apa yang dirasakan ketika sekarang mendapat label sebagai 'penyanyi'?

Mungkin gue nggak terlalu penyanyi, karena justru passion gue sebenarnya di bikin musiknya, menciptakan lagunya. Tapi akhirnya emang harus nyanyiin sendiri, mungkin karena penyanyi emang delivery guy-nya. Gue ingin menciptakan apa yang gue bawain, jadi produser juga. Jadi kalo dilabeli sebagai penyanyi mungkin rada sedikit kecil aja ruang lingkupnya.

Bagaimana proses di pembentukan ekosistem musik Vira yang sekarang?

Dulu gue sempet kuliah di Prancis dan mulai rekaman di sana juga, produksi di sana semua. Waktu gue pulang ke sini itu lumayan gonjang-ganjing sih. 'Gimana nih kan band-nya di sana, trus harus mulai lagi dari awal di sini'. Sempat ada kegagalan juga, sempat ketemu tim dan ada pergantian juga. Yang sekarang kayanya udah bisa belajar dari masa lalu, dan bener-bener terbentuk karena kecintaan terhadap musik itu sendiri. Jadi kita punya sense of belonging sama musiknya, gue juga berusaha sebisa mungkin melibatkan mereka di proses sekecil apapun. Mulai dari penciptaan lagu sampai performance. sebenarnya kaya bikin band sendiri gitu sih.

Sebesar apa pengaruh rekan-rekan musisi tersebut terhadap Vira Talisa?

Kayanya kalo nggak ada mereka gue nggak akan jalan sih. Selain pasti butuh yang main musik, bener-bener ada keinginan pengen main musik, pengen perform itu dari semangat mereka juga. Karena mereka selalu ada ide kayak 'nanti mainin lagu ini', atau 'eh menurut gue intronya gini', gitu sih.

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Kesan selama 4 tahun tinggal di Prancis?

Yang pasti sih rapi dan bersih, behavior nya kayanya jauh berbeda dari Indonesia, terutama Jakarta. Mungkin awal2 shock karena kalo di sini kalo kita punya pendapat lebih disimpen sendiri, tapi kalo di sana sopan nggak sopan kayak dikasih tau aja, yang penting transparan nih hubungan gue sama orang yang kita ajak ngobrol. Makanannya mungkin beda banget, hambar hambar.

Influence Prancis terhadap musik Vira gimana?

Influence kayaknya lebih personal mungkin karena yang menginfluence gue adalah temen-temen gue sendiri. Cuma mungkin kalo dari kota atauu negaranya lebih ke kenyamanan untuk jadi produktif, karena gue ga harus berurusan dengan macet, jalanan segala macem. Kalau di musiknya sendiri kayanya dari orang-orang yang gue kenal di sana. Kebetulan mereka orang-orang yang ngulik banget musik Prancis, jadi gue mendapat suntikan dari mereka.

Akhirnya di lagu terbaru ada bahasa Prancis, prosesnya gimana?

Jadi waktu itu gue lagi di kamar mandi, lagi sikat gigi atau cuci muka. tiba-tiba gue humming sebuah melodi yang jadi intronya. trus gue kepikiran semaleman, ini enak banget nih kayanya harus jadi lagu. Trus gue nelpon produser gue, dan saat itu gue kekeuh reff-nya harus parapapa, trus dia marah, dia mau ada liriknya. Trus mikirin pakai bahasa apa ya yang belakangnya 'pa', akhirnya pake bahasa Perancis. Kayanya gue harus nih gue nulis bahasa Perancis, udah ngutang belum nulis-nulis. Pokonya melodi tersebut gue ngerasanya ini mesti terang banget, orang yang denger mesti joget. Dan gue pengen liriknya yang boost motivasi.

Menurut Vira, bener nggak sih bahasa Prancis itu sexy?

Menurut gue bahasa Prancis grammarnya sangat puitis menurut gue. Misalnya kata I Miss You, kalo di bahasa Prancis Tu Me Manques yang artinya kamu membuat saya kehilangan sesuatu. Jadi lebih gombal, kalau bahasa Inggris kan langsung.

3 dari 3 halaman

Mainstream vs sidestream

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Selama bertahun-tahun, ada semacam gap di antara para pelaku dunia musik selain genre. Hal itu adalah indie vs major label, atau juga disebut mainstream dan sidestream. Sebagai salah satu artis yang bergerak secara independent, Vira Talisa memberikan opininya.

Lebih mudah menulis lagu bahasa Indonesia, Inggris atau Prancis?

Gue setiap nulis lagu itu ada bayangan, ini kayanya cocoknya bahasa ini deh, dari pelafalan, flow lagunya. Sebenarnya gampang susah kayanya kurang lebih sama. Cuma eksplorasinya paling seru bahasa Indonesia.

Apa yang membedakan musik Vira yang sekarang dengan yang dulu?

Setelah materi gue yang lama, gue mikirin per lagu kayanya bisa dieksplor deh. Kaya lagu pertama gue yang bossanova, yaudah sikat bossanova yang kentel. Atau misalnya ada lagu yang pop banget, yaudah dibikin pop banget. Sebenarnya ada pengaruh sama proses kreatifnya. Jadi dulu kerjain apa-apa sendiri, sekarang ada tandeman, ada produser juga. Jadi dia orang yang boost referensi, kita tukeran banyak jadi tetep di jalur yang sama, cuman tambahin warna ungu dong, atau pink. Itu sih yang paling ngaruh, dari apa yang gue dengerin satu dua tahun terakhir.

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Dari lagu-lagu yang diciptain, mana yang jadi pencapaian membanggakan?

Kayanya dua lagu belakangan sih, karena dulu gue nggak pernah mikir akan melibatkan orang dalam proses membuat lagu. Gue susah kerjasama dalam proses kreatif, biasanya gue cenderung either gue ngalah atau gue yang ngerjain semua. Gue terkesima oh ternyata gue involve orang dalam proses kreatif. Kaget akan warna-warna baru yang keluar, atau ternyata cocok banget sih pake instrumen ini. Pas dengerin dua lagu itu, Janji Wibawa dan Down in Vieux Cannes itu kayak 'oh ini gue yang bikin?' karena ngerasa keluar dari zona nyaman gitu sih.

Kalau ditanya, Vira Talisa ingin seterkenal apa?

Pengen impactful pastinya ya. Pengennya sebanyak mungkin orang, karena gue niatnya baik. Kebanyakan lagu gue pengen memotivasi, jadi semoga didengarkan dan terkena orang-orang yang butuh mendengarkan aja sebenarnya. Kalau besar kecilnya kayanya nggak terlalu ngaruh asal impact ke orangnya itu sendiri.

Ada kemungkinan membuat lagu yang mainstream?

Sebenarnya nggak apa-apa sama sekali kalau emang pas bikinnya itu niatnya nggak ke situ. Jadi bukan 'eh ini orang suka nggak ya', kayanya itu harus dihilangkan setiap menulis lagu. Cuma mungkin ada adjustment kaya dulu materi gue yang bahasa Inggris, orang bilang 'ini enak nih lagunya, tapi sayang nggak ngerti artinya'. Trus gue bikin lagu dengan bahasa Indonesia yang agak lebih mudah dipahami, bukan biar orang suka, tapi biar pesannya lebih nyampe.

Eksklusif Vira Talisa (Foto: Daniel Kampua, Digital Imaging: Muhammad Iqbal Nurfajri/Fimela.com)

Stigma tentang kamu apakah yang membuat terganggu?

Kayanya standar kaya penyanyi-penyanyi cewek. Hanya karena penampilannya 'ahh ini lucu nih', jadi kebanyakan emang meragukan musiknya, otaknya. Kadang suka sedikit (merasa) diremehkan aja gitu.

Suka duka jadi musisi indie?

Suka duka, lebih ke duit kayanya. Jadi bener-bener danai apa-apa sendiri. Cuma kebanyakan orang kan bilang takut musiknya ga ada yang denger. Kalo niatnya udah independen menurutku sih ada sense pengen punya community kecil aja. Jadi asal ada orang yang dengerin, satu dua orang gapapa yang penting jalan. Cuma emang produksi segala macem kan butuh biaya, jadi misalkan kalo indie concern-nya di situ, jadi nabungnya agak lama dulu. Hehe

Adakah sedikit teaser untuk album debut nanti?

Hmmmm...tanggal rilis belum ada, sekarang kita masih proses rekaman, lagu udah hampir jadi semua. Buat teaser mungkin gue bisa bilang kalo album ini adalah awal yang baru, jadi pagi dari malam yang panjang, habis gelap terbitlah terang. 

Indeed, sebagai musisi indie perjuangan dan pengorbanan adalah hal yang mutlak. Konsistensi, serta produktivitas seiring jalan juga menjadi tantangan tersendiri. Setidaknya Vira Talisa telah menemukan orang-orang yang tepat, pendengar yang makin beragam, serta industri yang kian terbuka terhadap talenta-talenta baru.