Fimela.com, Jakarta Nita Octobijanthy, istri Indo Warkop menghembuskan nafas terakhirnya pada Selasa (9/10). Almarhum telah dirawat di rumah sakit sejak beberapa bulan yang lalu, akibat penyakit kanker paru-paru yang dialami.
dr. Elisna Syahruddin, Ph.D, Sp.P(K) dari Departemen Pulmonologi dan Respiratori FKUI/RSUP Persahabatan mengatakan, median survival time atau rata-rata harapan hidup penderita kanker paru yakni 10 bulan saja. Selain harapan hidup, masih ada time to progression yakni masa “tenang” hingga suatu saat kanker dapat muncul lagi. Bila ini terjadi, harus diobati dengan cara lain.
“Bila suatu obat masa progresnya panjang, maka obat itu baik,” ucapnya saat ditemui di Jakarta.
Menurutnya, bukan hanya pengobatan saja yang harus dilakukan pasien kanker paru. Namun, pasien juga harus memperhatikan kualitas hidupnya. Sebab percuma bila pengobatan kanker menunjukkan hasil yang baik tapi membuat pasien menderita.
Penyebab kanker paru-paru
Kanker sendiri ialah pertumbuhan sel yang tidak normal. Sel tumbuh membesar dengan cepat, menginvasi jaringan sekitarnya, dan bisa tumbuh jauh ke tempat lain. Bila diibaratkan, paru-paru kita seperti taman. Pada kondisi sehat, “taman” ini ditumbuhi oleh tanaman yang sehat. Namun, selalu ada bibit-bibit kanker yang bisa tumbuh.
Tiap kali kita bernafas, terjadi kerusakan pada mukosa (selaput lendir) saluran nafas, dari hidung/mulut hingga paru-paru, inilah bibit-bibit kanker. Namun tidak semudah itu tumbuh menjadi kanker karena paru-paru memiliki mekanisme pertahanan. Tiap kali ada yang rusak, mekanisme ini bekerja memperbaikinya. Masalah muncul begitu sistem imun tubuh tidak lagi mampu membersihkan bibit kanker.
Angka harapan hidup pasien kanker masih rendah karena masih banyak yang belum kita ketahui tentang kanker. Banyak sekali proses yang terlibat dalam pertumbuhan dan perkembangan kanker. Terjadi ketidakseimbangan sel. Sel tubuh kita memiliki program pematian sel (programmed cell death) yang disebut apoptosis.
Program ini menjadikan sel-sel yang sudah rusak/tua melakukan bunuh diri, sehingga keseimbangan tubuh selalu berjalan. Namun pada sel tidak normal, program ini tidak berjalan, sehingga ia bisa tumbuh tak terkendali dan menjadi kanker.
Pengobatan kanker paru-paru
Secara umum, ada dua jenis pengobatan kanker: yang bersifat lokal dan sistemik. Yang bersifat lokal yakni operasi dan radioterapi. Operasi hanya bisa dilakukan pada kanker stadium dini (1 dan 2). Untuk sistemik, tersedia pilihan modalitas kemoterapi, terapi target dan yang terbaru yakni imunoterapi. Untuk kanker paru, kemoterapi menggunakan dua jenis obat berbasis platinum.
“Kemoterapi bersifat umum. Artinya dia mengejar semua jenis sel tanpa memilih,” terang dr. Elisna. Ini yang membuat efek kemoterapi cukup berat seperti rambut rontok dan lain-lain.
Terapi target bersifat spesifik, hanya mengejar sel yang mengalami mutasi tertentu. “Karenanya untuk bisa diberikan obat terapi target, sebelumnya harus diperiksa dulu apakah kanker memiliki mutasi gen tertentu,” ujar dr. Elisna.
Kini tersedia apa yang disebut imunoterapi. Seperti terapi target, obat ini juga bekerja secara spesifik. Bedanya, ia bekerja di level imunologi, bukan mutase gen. Adalah obat anti PD-1, imunoterapi pertama yang tersedia untuk kanker paru. Sel T imun kita memiliki PD-1 (programmed cell death-1), reseptor yang akan memicu terjadinya apoptosis pada sel.
Namun, sel kanker begitu pintar, jenis kanker tertentu mengembangkan mekanisme pertahanan dengan menciptakan ligan PD-L1. Saat PD-1 milik sel T menempel di permukaan sel kanker, terjadilah ikatan dengan PD-L1. Ikatan ini membuat PD-1 menjadi tidak aktif, sehingga tidak bisa memicu apoptosis sel kanker. Mekanisme inilah yang dipotong oleh imunoterapi anti PD-1. Dengan dibloknya ikatan antara PD-1 dengan PD-L1, PD-1 kembali bisa bekerja dan sel kanker pun bisa diprogram untuk melakukan bunuh diri.
Tidak semua sel kanker memiliki PD-1. Kanker paru jenis bukan sel besar (KPKBSK) termasuk yang memilikinya. “Maka sebelum diberikan anti PD-1, harus dilakukan dulu pemeriksaan imunohistokimia untuk melihat protein PD-L1 pada sel kanker,” jelas dr. Elisna.
Pengobatan dengan imunoterapi sudah masuk dalam panduan PDPI (Persatuan Dokter Paru Indonesia) untuk pengobatan kanker paru. Bila dengan pemeriksaan ditemukan PD-L1 > 50%, obat anti PD-1 bisa langsung diberikan sebagai terapi lini pertama. Namun bila nilainya < 50%, bisa diberikan nanti. “Mungkin setelah tidak lagi merespon terhadap kemoterapi dan terapi target,” tuturnya.
Anti PD-L1 diberikan secara infus, tiap 3 minggu. Penelitiannya, bisa dipakai hingga satu tahun. Obat ini sudah masuk Indonesia sejak Juni 2017. Kini masih dilakukan persiapan di 14 center di Indonesia untuk bisa melakukan pemeriksaan imunohistokimia untuk PD-L1.Dr. Elisna menegaskan, anti PD-1 merupakan pilihan modalitas baru. “Makin banyak modalitas pengobatan yang kita gunakan, akan makin besar harapan hidupnya,” tutupnya.