Fimela.com, Jakarta Traveling itu tak semata dilakoni untuk menambahkan hitungan destinasi dalam angka, pun berujung pada menikmati lanskap negeri-negeri asing yang namanya mungkin begitu anonim untuk sejumlah orang. Privilege lain dari pelesiran adalah bertemu dan berinteraksi langsung dengan penduduk lokal.
Menyelami kegiatan mereka, mengenali budaya, menambah perspektif, dan belajar dari anak kampung sini a.k.a. akamsi jadi kelebihan lain yang kiranya kerap diupayakan tak sedikit pejalan. Tapi, soal mengakrabkan diri, ternyata ada beberapa pendekatan yang akhirnya memberi dampak.
Interaksi yang terjadi dengan penduduk lokal nyatanya tak berlangsung hanya dengan orang-orang dewasa. Di beberapa keadaan, percakapan turis dengan anak-anak di suatu destinasi juga sangat mungkin terjadi.
Namanya juga anak-anak, pendatang biasanya punya sesuatu untuk menarik perhatian mereka. Nah, pancingan untuk bertanya satu-dua hal ini terkadang dilakukan dengan memberi uang maupun cokelat, juga permen.
Setidaknya itu lah yang bisa didapati di beberapa destinasi top untuk traveling, termasuk Sumba, Nusa Tenggara Timur. Tapi, siapa sangka bila keputusan memberi 'oleh-oleh' ini nyatanya berujung pada pandangan yang membuat publik terbagi menjadi kubu pro dan kontra.
Memberi Sedikit Oleh-oleh, Apa Salahnya?
Membagikan permen, cokelat, sedikit uang jajan, atau oleh-oleh lain sebenarnya merupakan bentuk keikhlasan pelancong untuk sedikit berbagi dengan anak-anak di destinasi traveling. Melihat wajah bahagia mereka menerimanya seperti membuat perjalanan lebih bermakna.
Lagipula, apa salahnya jika sedikit berbagi dengan mereka? Apalagi beberapa daerah tujuan pelesiran bukan lah wilayah 'mewah' yang fasilitasnya sudah sangat memadai. Menghapus sejenak keterbatasan itu dengan memberi 'sedikit' bantuan tentu tak salah.
Kalau beruntung, sebagai gantinya, turis bisa mendengar cerita anak-anak yang mungkin tak pernah dimuat di manapun. Boleh jadi tentang perjalanan bermil-mil jauhnya untuk sekolah atau perihal perjuangan mandapat air bersih.
Cerita-cerita ini bisa jadi inspirasi untuk menggalang dana, membuat hidup mereka lebih baik lagi dari asumsi umum. Yang paling minim, sebagai pengetahuan untuk diri sendiri, bisa jadi nanti dibagikan dan menggerakkan banyak orang. Jadi, apa salahnya?
Meminta yang Kemudian Jadi Budaya
Tulus memberi 'oleh-oleh' pada akamsi nyatanya memunculkan fenomena yang tak sebegitu indah didengar. Dalam sebuah video di rangkaian trip Salam Indonesia, Erix Soekamti, menemukan dampak negatif dari upaya mendekatkan diri ini.
Terekam di sana, anak-anak di Sumba, saya sedikit lupa di mana tepatnya, secara tak langsung memberi kode untuk meminta uang pada Erix dan tim yang notabene merupakan orang asing bagi mereka.
Saya yang menontonnya sedikit kaget. Ekspresi serupa juga diperlihatkan bassist Endank Soekamti itu. Ternyata pemberian-pemberian dari pelancong menumbuhkan budaya untuk meminta pada orang lain.
Kelakuakn ini tentu tak bisa digeneralisasi dan menempelkan cap bila semua anak kecil di sana seperti itu. Tapi, sepotong contoh ini kemudian membuat banyak orang kembali mengevaluasi perlakuan yang secara tak senaja dibiasakan tersebut.
Apalagi, frekuensi datangnya turis di beberapa destinasi di dalam negeri sudah semakin sering. Tindakan antisipasi sudah seharusnya kita pikirkan agar kebiasaan ini tak terus mengakar. Kalau sudah begini, pikil lagi, apakah benar-benar perlu memberi 'oleh-oleh' pada akamsi?
Asnida Riani,
Editor Celeb Bintang.com