Mengenal PTSD yang Diderita Ariana Grande

Karla Farhana diperbarui 26 Jun 2018, 13:16 WIB

Fimela.com, Jakarta Ariana Grande menggelar konser pada 22 Mei tahun lalu ketika sebuah bom bunuh diri meledak. Usai kejadian tersebut, BBC mewartakan, Ariana mengaku mengidap PTSD. 

PTSD atau post traumatic stress disorder, menurut Hello Sehat, merupakan sebuah gangguan kesehatan mental yang terjadi setelah seseorag mengalami trauma berat. 

Trauma ini, bisa disebabkan oleh berbagai macam insiden. Misalnya, kejadian-kejadian yang mengancam keselamatan dirinya. Seperti bencana alam, insiden kriminal, termasuk bom bunuh diri seperti yang dialami Ariana. 

Gangguan ini cukup serius kalau nggak segera ditangani. Soalnya, PTSD bukan cuma sekadar trauma biasa. Nah, kalau kamu sempat mengalami insiden yang berbahaya dan membuatmu takut, mungkin kamu mengalami apa yang dialami pelantun lagu Side to Side ini. 

Dari pada salah sangka dan terlambat untuk ditangani, lebih baik kamu cari tahu beberapa fakta soal PTSD, yang sempat diderita Ariana Grande, di bawah ini. 

2 dari 3 halaman

Trauma Bukan Berarti PTSD

Namun di balik kebahagian keduanya, ada keresahan yang dirasakan oleh orang-orang terdekat. (instagram/arianagrande)

Dilansir dari Hello Sehat, nggak semua orang yang trauma berarti dia mengidap PTSD. Soalnya, gejala yang timbul selalu berubah. Bahka, beberapa kasus pada korban kecelakaan dan bencana alam, para korban yang didiagnosa mengidap PTSD justru gejalanya mengalami penurunan menjadi trauma biasa. 

Jadi, ketika seseorang mengidap PTSD, gejala yang muncul pada diri mereka bisa berubah menjadi trauma biasa. Sebaliknya, orang yang mengalami trauma bukan berarti langsung bisa didiagnosa mengidap gangguan kesehatan mental ini. 

3 dari 3 halaman

Nggak Bisa Sembuh Tanpa Bantuan

Ariana Grande pamer cincin pertunangan dengan Pete Davidson. (E! News)

Tak seperti trauma biasa, PTSD nggak bisa hilang begitu saja seiring dengan berjalannya waktu. Pasien harus mendapatkan bantuan dari orang lain, terutama untuk membantu mengekspresikan dirinya sendiri. 

Namun, sulit sekali kalau pasien masih menganggap kalau mengekspresikan dirinya tak baik dan terlalu berlebihan. Adanya anggapan pria tak seharusnya mengekspresikan perasaannya juga bisa menghambat waktu pemulihan.