Fimela.com, Jakarta Dalam film terbarunya berjudul Lima, Prisia Nasution didaulat berperan sebagai Fara, seorang pelatih renang. Ia merupakan sosok tegas yang penuh dengan idealisme dan menjunjung nilai kebenaran dan persamaan derajat.
Tak seperti film pada umumnya yang hanya diatur oleh seorang sutradara, dalam film tersebut Prisia rela diarahkan oleh 5 sutradara yaitu Lola Amaria, Shalahuddin Siregar, Tika Pramesti, Harvan Agustriyansyah, dan Adriyanto Dewo.
"Uniknya, satu film, lima sutradara, itu awalnya bingung tapi ternyata satu film dengan lima kepala juga bisa," kata Prisia Nasution di XXI Djakarta Teater, kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (24/5/2018).
Ditambahkan oleh Prisia, teknis penggarapan film ini cenderung berbeda dari film biasanya. "Ini jadinya pemain dan set sama, tapi sutradara ganti-ganti, biasanya kan kebalikannya ya," lanjutnya.
Sebagai profesional, Prisia mengaku tak merasa kebingungan. Apalagi skenario dalam film tersebut utuh. Jadi seorang Fara memiliki karakter yang tak berubah meskipun masing-masing sutradara menerjemahkan masing-masing sila dalam Pancasila yang digarapnya.
"Nggak (bingung) sih karena film ini skenarionya memang utuh gitu, tapi ada part-part yang memisahkan mana sila pertama dan mana sila yang lainnya," tuturnya.
Karakter Tetap Sama
Sebelumnya, para sutradara tersebut juga telah melalui kesepakatan tentang karakter dari para pemain. "Sebenernya dari sisi pemain, ya itu, awalnya bingung. Semua tapi ternyata karakter pemain itu sudah disamaratakan di lima kepala (sutradara)," imbuhnya.
Dalam berperan, Prisia hanya mencoba profesional. "Tugas kita sebagai pemain adalah bertanggung jawab sama peran, sedangkan sutradara juga sudah terlebih dahulu sepakat dengan karakter setiap orangnya," kata Prisia Nasution.
Pilihan Lola Amaria
Menurut Lola Amaria sebagai produser, semua sutradara itu dirinya sendiri yang memilih. Semua dari mereka itu sudah pernah kerja sama dengannya. Karenanya, Lola pun memberikan penggarapan masing-masing sila kepada orang yang dianggapnya tepat.
"Jadi, istilahnya saya ga beli kucing dalam karung. Saya sejak awal tahu Udin itu kuat untuk menyutradarai sila pertama karena dia ada pengalaman menjadi sutradara dokumenter film tentang pesantren. Tika juga, yang lainnya juga. Semua pas dengan tema mereka masing-masing. Pada akhirnya kombinasi lima ide digabung jadi satu berhasil juga," ucapnya.