Jakarta Malam hari waktu Jakarta beberapa hari lalu, saya sedang asyik membuka akun Instagram pribadi dan begitu kaget saat melihat salah satu posting yang menyatakan bahwa “Raf Simons quits Dior.” Penasaran, saya langsung membuka headline news di Google. Benar saja, Fimelova. Mungkin kamu sudah tahu bahwa musim depan kita tidak akan melihat lagi rancangan Raf Simons yang luar biasa indah untuk Christian Dior. Namun, spekulasi terus berputar. Apa alasan di balik keluarnya Raf Simons secara tiba-tiba. Padahal, nama baik dan penjualan Christian Dior terus menanjak semenjak dipimpin oleh dirinya.
Christian Dior sempat mengalami guncangan saat Creative Director mereka, John Galliano, terkena isu rasis. Lebih parahnya lagi, rumor negatif tentang Galliano terus menerpa. Otomatis, Dior kehilangan sedikit kredibilitasnya. Para pecinta fashion kembali bersorak saat Christian Dior menemukan pemimpin baru mereka, Raf Simons. Sebuah nama yang jenius untuk membangkitkan rumah mode asal Paris tersebut.
(foto: vogue.co.uk)
Raf Simons di film Dior & I
Saking dipuja, Raf Simons bahkan punya sebuah film dokumenter tentang kariernya di Christian Dior. Belum lama dirilis pula. Bagi seorang Creative Director yang kariernya masih kurang dari satu dekade (Simons hanya bertahan di Dior selama 3,5 tahun) di Dior dengan sebuah film dokumenter, tentu pencapaian yang luar biasa. Itu semua berkat kerja keras Raf Simons, membuat penjualan menanjak dari musim ke musim, mengembalikan kredibilitas Dior, dan pastinya menjadikan Dior sebuah brand yang dipuji setiap insan fashion.
Lalu mengapa ia hengkang? Salah satu kabar yang mencuat belakangan mengatakan tidak mudah bagi seorang desainer untuk memproduksi koleksi fashion lebih dari 6 kali dalam satu tahun. Koleksi resort, spring/summer, pre-fall, fall/winter, spring couture, fall couture, belum lagi jika brand tersebut punya lini menswear. Raf Simons juga punya brand sendiri di samping Christian Dior. Terbayang sibuknya?
Sebuah fakta juga menyebutkan bahwa fashion telah berubah, dikuasai oleh mereka yang punya banyak uang. Raf Simons pernah menyatakan bahwa Dior tidak akan pernah menjadi miliknya. Tentu saja Bernard Arnault, sang pemilik, yang punya kuasa penuh. Belum tentu semua sketsa yang telah dirancang oleh Raf Simons langsung disetujui. Mungkin ia harus berkali-kali merancang ulang hingga semua kepala mengangguk setuju. Hal serupa tentunya juga terjadi pada desainer lain yang berada di bawah naungan perusahaan pemegang banyak brand. Alexander Wang dengan Balenciaga, atau mungkin yang masih bekerja seperti Alessandro Michele untuk Gucci.
Mereka mungkin punya banyak faktor pendukung sehingga bisa bebas berkreasi tanpa harus memikirkan berapa banyak biaya yang harus dikeluarkan. Tapi satu hal yang sulit ditemui saat ini adalah waktu. Dengan begitu banyak koleksi yang harus dikeluarkan (termasuk approval di dalamnya) dan waktu yang sangat singkat, tak heran banyak desainer yang sulit untuk survive, terlepas dari sejenius apapun mereka.
Keputusan Raf Simons hengkang dari Christian Dior akhirnya dinyatakan murni dari Raf sendiri tanpa ada paksaan atau pemberhentian sepihak. “It is a decision based entirely and equally on my desire,” ungkapnya. Tidak dijelaskan bahwa ini adalah masalah waktu, namun semua pihak yakin akan hal tersebut. Jika memang tentang waktu, mungkinkah ada solusinya? Well, Hedi Slimane tetap bermarkas di Los Angeles biarpun memimpin Saint Laurent yang berada di Paris. Phoebe Philo tetap tinggal di Inggris walau mengurus Celine yang berbasis di Paris. Tapi, tidak semua hal dapat berjalan mulus seperti mereka berdua. Bukankah begitu?