Oleh 6 Desainer, Kain Tradisional Berubah Jadi Gaun-Gaun Stylish dan Modern

Jessica Esther diperbarui 04 Jun 2015, 11:00 WIB

Ari Seputra

Jakarta Sulit rasanya menggambarkan keindahan kain tradisional khas Nusantara. Pertama, jenisnya begitu beraneka ragam, bergantung pada asal daerah masing-masing. Kedua, ada cerita di balik setiap helai kain. Ketiga, proses pengerjaan yang sulit dan butuh ketelatenan.

Namun, di balik keindahan itu, masih saja ada yang memandang sebelah mata soal kain tradisional. Alasan paling dominan, kain tradisional tidak pernah diolah ke dalam bentuk yang modern. Mustahil rasanya dipakai di era modern seperti saat ini.

Jujur, beberapa tahun lalu hal itu memang jadi kendala mengapa kain tradisional sulit untuk go internasional. Tapi, berkat dukungan penuh beberapa yayasan kain tradisional, partisipasi para fashion designer dalam negeri yang peduli dengan kelangsungan kain ini, kain tradisional kini sudah tidak dapat dipandang sebelah mata lagi.

Cita Tenun Indonesia, misalnya. Sejak tahun 2008 terus mendukung pengrajin tenun di Indonesia yang tersebar di puluhan pelosok negeri. Kain-kain tenun ini dilestarikan, dikembangkan, hingga dipasarkan sedemikian rupa agar terus lestari. Secara rutin pula, Cita Tenun Indonesia, juga bekerja sama dengan para fashion designer papan atas Indonesia untuk membawa kain tradisional ini agar lebih bisa diterima oleh masyarakat.

Stephanus Hamy

Auguste Soesastro

Di Jakarta Fashion & Food Festival (JFFF), Cita Tenun Indonesia beserta Auguste Soesastro, Ari Seputra, Chossy Latu, Denny Wirawan, Priyo Oktaviano, dan Stephanus Hamy mempersembahkan “Jalinan Lungsi Pakan”. Merupakan sebuah cerita tentang jalinan anyaman benang lungsi dan pakan yang menciptakan lembaran baru sebuah kain tenun dari pengrajin tenun itu sendiri.

Benang lungsi adalah benang yang memanjang pada alat tenun, benang pakan adalah benang horizontal yang masuk keluar pada lungsi saat menenun. Lewat jalinan kedua benang tersebut, terciptalah berbagai macam motif tenun yang indah.

Priyo Oktaviano

Denny Wirawan

Setiap desainer membawakan motif-motif kain tenun yang berbeda-beda, dengan tema yang berbeda pula. Menghasilkan sebuah keanekaragaman busana yang tak disangka-sangka bisa begitu modern. Perempuan urban pun tidak mungkin bisa berpaling pada eksotisme kain yang sudah diolah menjadi ragam pakaian dengan model dan tren fashion terkini.

 Auguste Soesastro, desainer yang terkenal dengan koleksi baju bersiluet minimalis dan tak jarang tanpa ada garis jahitan pada samping baju, mewakili daerah Sambas. Koleksi tenun daerah itu ia terapkan dalam koleksi kecilnya untuk Kraton by Auguste Soesastro. Selain itu, Chossy Latu membawa tenun daerah Halaban, Sumatera Barat, dan menampilkan tema “Songket and The City”. Kami bisa membayangkan dengan jelas bahwa koleksi ini bisa saja dipakai oleh Sarah Jessica Parker.

Chossy Latu

Ari Seputra mengambil kain tenun dari Lombok dan menjadikan koleksinya sarat warna-warna monokromatis. Denny Wirawan membawa tenun dari Sulawesi Tenggara dan menampilkan tema “Ocean Wave”. Sedangkan Priyo Oktaviano terinspirasi oleh masyarakat suku Baduy yang teknik pembuatan kain tenunnya memperlihatkan garis geometris. Terakhir, Stephanus Hamy yang mengangkat kain tenun binaan daerah Bali yang mengajak kita bereksplorasi dengan sisi lain Pulau Dewata.

Lewat karya-karya para desainer tersebut yang terus mendukung perkembangan kain tenun, kekhawatiran kita tentang nasib kain tradisional bisa dikurangi. Lewat pengolahan kain menjadi sebuah pakaian yang modern, kini anak muda pun bisa bereksplorasi dengan bebas dan bisa memenetrasikan kain tradisional ke dalam signature style mereka.