Sesulit Apapun, Chef Ray Janson Selalu Menemukan Jalan Untuk Kembali ke Dunia Kuliner

Patricia Wulandari diperbarui 24 Apr 2015, 15:00 WIB

Jakarta Kalau kebanyakan anak-anak lebih suka menonton TV atau bermain di luar saat duduk di bangku taman kanak-kanak, Ray Janson malah menghabiskan waktu luangnya bermain di dapur sejak dari TK.

As long as I can remember, saya sudah main di dapur. Dulu saya tinggal sama oma, dan beliau punya catering masakan Sunda dan Chinese Indonesian di wilayahnya. Kalau pagi sampai sore saya di rumah oma, jadinya suka ikut ke pasar, naik becak, lihat-lihat barang di pasar. Sejak itu saya jadi mulai penasaran,” ujar Ray ketika ditanya kapan pertama kali ia terjun ke dunia memasak. Beranjak remaja, Ray baru mulai rajin membaca buku masak dan sering membawa masakan kreasinya ke sekolah untuk dicicipi oleh teman-temannya.

Memiliki pengalaman memasak selama belasan tahun ternyata bukan jaminan perjalanan mulus di dunia kuliner, Fimelova. “Saya sudah memasak dari kecil, so I assume I was good at cooking. Tapi begitu saya kuliah di Le Cordon Bleu di Paris, ternyata kendalanya benar-benar gila,” ceritanya. 

Tidak hanya dari segi materi kuliah, Ray juga menghadapi tantangan luar biasa waktu baru menginjakkan kaki di Paris. “Hari pertama di Paris saya dirampok, tidak punya apa-apa selain HP dan dompet. Saya tiga hari ngegembel, tidur di kereta atau di taman, dan tidak mengerti bahasanya. Untung agent saya kenal dengan orang Indonesia di Paris, namanya Tante Winny, dia baik banget. I owed her a lot!” kenang Ray sambil tertawa kecil. 

Kehilangan harta benda menjadi awal mula tantangan yang dihadapi Ray. Tiga bulan pertama kuliah di Le Cordon Bleu ia mengaku sangat stres dan merasa kemampuan memasaknya sangat rendah. Ray dituntut untuk bisa mengerjakan seluruh bahan-bahan di dalam sebuah menu dalam waktu yang bersamaan dan cooking time yang sempurna. Tidak jarang ia juga dimaki oleh para mentor karena kecerobohannya. Di tempat inilah Ray benar-benar ditempa secara profesional untuk siap terjun di industri kuliner.

Sempat bekerja di Paris selepas kuliah, Ray sebenarnya tidak berencana untuk kembali ke Indonesia. Ia harus pulang karena visanya tidak bisa diperpanjang. Sesampainya di tanah air, ia sempat merasa bosan memasak karena susah memperoleh beberapa bahan yang ia inginkan, tidak mempunyai alat masak yang lengkap, dan ia juga sudah terlanjur jatuh cinta dengan budaya, kuliner, dan segalanya yang ada di Perancis. Bahkan, Ray sempat memutuskan untuk bermain perkusi di dalam sebuah band bossanova karena saking bosannya dengan dunia memasak.

Meskipun begitu, ia akhirnya memutuskan untuk meninggalkan band-nya dan melangkahkan jejaknya kembali ke dunia kuliner. Ia sempat menjadi trainee di Hotel Mulia, kemudian menjadi junior sous chef di hotel yang sama. Setelah itu, Ray memutuskan untuk resign dan berjualan kue opera melalui Facebook. “It was very successful. Saya bisa mengerjakan pesanan 200 kue opera dalam seminggu. Tapi saya tidak happy,” katanya.

Dari situlah ia memutuskan untuk membuka private dining dengan nama Verjus di tahun 2012. “Basically, Verjus itu semacam premium catering, bisa untuk buffet, acara ulang tahun, dan lainnya,” terang Ray. Di samping private dining, chef yang tahun ini berusia 24 tahun ini juga sering menjadi konsultan untuk orang-orang yang ingin membuat bisnis restoran. Awal tahun 2015, Ray juga membuka sebuah modern chinese restaurant yang mengangkat konsep dimsum bergaya modern bersama teman-temannya. Kamu pernah mendengar restoran Ling-Ling? Yes! Ini adalah restoran miliknya, Fimelova.

Berkecimpung di dunia kuliner adalah sesuatu yang luar biasa bagi Ray. Berkat keahliannya, ia bisa bertemu langsung dan menyajikan hidangan untuk beberapa orang terkaya di Indonesia, seperti Anthoni Salim, Budi Hartono, Johnny Darmawan, dan masih banyak lagi. Berhasil merekam jejak di dunia kuliner Indonesia pada usia yang masih sangat muda tidak membuat Ray menjadi besar kepala. “I believe cooking is a lot of hard work. Cooking itu sama seperti mengendarai sepeda, atau berenang. Semakin sering dilakukan, maka kita akan semakin mahir. Kalau sudah tidak memasak lagi, suatu saat kita akan kehilangan skill dan palate. I don’t believe cooking isn’t hard. It is more like a craft yang harus dikerjakan terus-menerus,” katanya menutup sesi obrolan sore itu.

Jadi, buat kamu yang ingin menekuni karir di bidang kuliner, kerja keras adalah kunci utamanya, Fimelova!