Jakarta
Tadashi Yanai, CEO UNIQLO menanamkan pada timnya bahwa resep untuk mengembangkan bisnis adalah prinsip global is local and local is global. Karena, pemikiran lokal pastinya berpengaruh pada bagaimana menjual apa yang dimiliki UNIQLO.
Global Chief Marketing Officer Jorgen Andersson mengungkapkan, bahwa pengembangan teknologi dan menjadikan hal tersebut unik adalah tugas utamanya di divisi marketing. "Banyak perusahaan atau retail brand yang bisa dibilang mirip satu sama lain. Apalagi yang memang mengikuti tren fashion yang ada. Kadang sekilas mengamati window display (para kompetitor), sulit untuk membedakan satu dengan lainnya. Tapi, jika kita masuk toko UNIQLO, kita dengan yakin bisa bilang kalau ini memang UNIQLO."
Dalam hal kolaborasi, seperti brand yang pernah dipimpinnya dulu, Andersson mengungkapkan UNIQLO cukup selektif dalam pemilihan mitra kolaborasi, "In the end, we want to sell a perfect product. Dan karena tujuannya adalah bagaimana membuat produk yang sempurna, siapapun yang kami ajak berkolaborasi; dari fabric developer, desainer merancang print t-shirt, desainer atau style icon seperti Ines de la Fressange haruslah menghasilkan sebuah produk yang sempurna. Dan harus relevan dengan UNIQLO sebagai brand."
UNIQLO pernah bekerjasama dengan Jil Sander, melahirkan koleksi UNIQLO + J di tahun 2009 sampai tahun 2011. Jil Sander bisa dibilang sebagai ratunya kesempurnaan (teknik) serta simplicity, dan dianggap miliki konsep yang sejalan dengan UNIQLO sendiri sebagai brand. UNIQLO tidak melulu berkolaborasi hanya dengan desainer, tapi juga tokoh, yang memang mempunyai jiwa yang sama dengan UNIQLO. "Same as a relationship. If you meet the love of your life, you have that connection, you clicked! Its all about connecting the two brand, other wise it will felt artificial. And UNIQLO is not about artificial. UNIQLO is about being real, being authentic. Dunia fashion sudah cukup artifisial tanpa harus menambahkan lagi bumbu ketidakcocokan di dalamnya. And you have to have the same value," papar Andersson.
Contoh kolaborasi yang sudah berjalan selama tiga tahun belakangan ini, bersama mantan model dunia serta style icon asal Perancis, Ines de la Fressange. Kolaborasi dengan Ines adalah satu hal yang spesial. Karena, walaupun ia bukan desainer, tapi Ines bisa 'menyatukan' berbagai outfit jadi satu tampilan yang gaya. "Ines' style punya DNA UNIQLO di dalamnya," ungkap Andersson.
Menurut Andersson, koleksi Ines adalah bagian dari strategi UNIQLO untuk 'mendengarkan' apa yang dibutuhkan masyarakat lokal. Dalam hal ini, gaya serta kultur Perancis. Fashion bisa saja diartikan sebagai pemanis, tapi UNIQLO sanggup untuk memberikan rasa unik yang khas. Yang tidak boleh terjadi adalah, saat pelanggan memasuki toko dan bertanya kenapa UNIQLO melakukan (kolaborasi) itu? Reaksi yang didapat haruslah, natural, bagaimana pelanggan mengamini produk tersebut sebagai salah satu kreasi sempurna dari UNIQLO.
Tidak cuma komitmen untuk selalu mengembangkan teknologi bahan yang dipakai, UNIQLO juga mengejar kesamaan selera di antara para pelanggannya di seluruh dunia. "Ambisi UNIQLO adalah mencapai target setinggi mungkin di pasar global, tapi juga pada saat yang sama tetap menghormati serta mengamati apa yang terjadi dan yang diinginkan oleh pasar setempat," ungkap Andersson, yang dulu pernah menjabat posisi yang sama di H&M.
Andersson memberikan contoh, walaupun suhu di berbagai belahan dunia sangat berbeda, tapi bisa dibilang yang dijual (UNIQLO) di berbagai negara kurang lebih sama. Misalnya dingin di Tokyo pastinya berbeda dengan suhu dingin di Indonesia, tapi barang-barang musim dingin yang dijual di Indonesia sama lakunya dengan di negara empat musim. "Jadi, jawabannya adalah segala hal itu relatif. Dan apa yang relevan di satu tempat, bisa menjadi relevan juga di tempat yang berbeda. Tambahan lagi, masyarakat sekarang pada umumnya menyukai traveling ke tempat yang berbeda dengan negara asal. It is a global world that we living in," jelas Andersson.
UNIQLO mempunyai tagline made for all; untuk perempuan-laki-laki, tua-muda, segala kalangan dengan latar belakang yang berbeda. Karena itu, menurut Andersson, strategi marketingnya pun global. Dengan catatan, harus punya global appeal and similarities, serta harus menarik dan menjual secara pemikiran lokal. Global brand today is about similarities, karena justru jika membuat strategi yang terlalu unik atau spesifik berpotensi mengurangi luasnya cakupan.