Jakarta (Proklamasi - Heri Dono)
Paviliun Nasional Indonesia akan hadir kembali dalam Pameran Seni Rupa Internasional La Biennale di Venezia ke-56. Pameran yang sudah diadakan sejak 1895 ini adalah ajang seni rupa kontemporer terbesar dan paling berpengaruh di dunia. Pameran La Biennale tahun ini akan menyodorkan tema “All the World’s Futures”, artinya setiap karya yang tercipta dari seniman yang terlibat di pameran tersebut merupakan hasil dari sebuah penafsiran baru mengenai hubungan seniman dan situasi termutakhir yang tercipta tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
Heri Dono adalah salah satu seniman kontemporer terkemuka Indonesia yang akan terlibat dalam perhelatan acara La Biennale di Venezia nanti. Namanya mulai dikenal pada akhir 1960-an lewat karya-karya instalasinya yang banyak mengambil budaya Jawa seperti wayang sebagai sumber inspirasinya.
(Heri Dono - Gallery Nasional)
“Ini bukanlah kali pertama saya mengikuti ajang seni internasional. Sebelumnya di tahun 2003 saya juga pernah mengikuti La Biennale di Venezia.”
Voyage yang artinya adalah “serangan balik” merupakan tema yang dipilih oleh beliau untuk meramaikan pameran seni La Biennale yang akan berlangsung pada 9 Mei – 22 November 2015 mendatang. Melalui Voyage, pria berkacamata kelahiran Jakarta pada 12 Juni ini menjelaskan jika ada makna yang tersirat yang terkandung di dalam kalimat yang akan tertuang ke dalam karya-karya seni kontemporernya nanti.
“Salah satu bentuk karya yang akan dipamerkan adalah “Trokomod” atau Trojan Komodo, karya tersebut tercipta karena adanya sejarah yang ada di negara kita. Mulai dari sejarah budaya, sosial, politik, hingga mistiknya yang kemudian kita campurkan pada globalisasi.” Ungkapnya saat kami temui di Gallery Nasional kemarin.
Melalui Voyage ini juga, Heri berharap agar bangsa Indonesia mampu melakukan refleksi kritis sebagai sarana untuk mengkritik bangsa Barat. Heri optimis, bahwa ia ingin menunjukkan jika seni rupa Indonesia merupakan bangsa yang harus kita junjung harkat dan martabatnya, dapat tampil dalam perbincangan internasional, khususnya di bidang kesenian.
“Seni adalah doa. Seni adalah media berupa kritikan. Seni ketika mengkritik sebenarnya juga sedang berdoa. Agar kehidupan menjadi lebih baik. Kritikan itu bukan berarti kita menjatuhkan lawan, tetapi untuk kebaikan dan membangun,” tutur seniman yang memilih menetap di kota Yogyakarta itu.
Kalau kamu ada kesempatan untuk berkunjung ke Venezia, jangan lupa mampir dan menyaksikan salah satu pameran seni kontemporer terbesar di dunia ini, Fimelova!