Jakarta Mari mengindentifikasi 'warna' cinta! Tim SETIPE ingin mewakili Bapak John Lee, yang bercerita dalam bukunya Colors of Love pada tahun 1973, untuk membuat 'manusia modern' paham warna cinta apa yang menyelimuti mereka. Setiap individu, sadar atau tanpa sadar, memiliki cara tersendiri dalam melihat, memahami, dan menjalankan hubungan. Shall we start?
Apakah kamu pernah mengalami perasaan yang menggebu-gebu, sangat antusias, dan bersemangat ketika bertemu dengan seseorang? Jika ya, itu berarti kamu pernah mengalami rasanya jatuh cinta. Kondisi tersebut sebagian besar dialami oleh seseorang pada masa-masa awal jatuh cinta. Reaksi fisiologis seperti detak jantung yang berdebar kencang, pupil mata yang membesar, dan produksi keringat yang banyak, dialami ketika adrenalin pada sistem saraf kita meningkat, dan menurut penelitian juga terjadi pada orang yang jatuh cinta.
Saya jadi teringat salah seorang teman saya yang bernama Luthfi, yang sangat menggemari olahraga ekstrem. Menurut dia, sensasi adrenalin yang dirasakan ketika sedang melakukan parasailing, bungee jumping, atau panjat tebing, sangatlah menyenangkan sampai-sampai dia ingin melakukannya lagi dan lagi. Kalau Luthfi menggemari olahraga ekstrem, teman saya yang lain, sebut saja namanya Lukman, memiliki hobi jatuh cinta. Saking sukanya ia terhadap sensasi jatuh cinta, sampai-sampai ia dijuluki sebagai Playboy Cap Kaki Seribu, karena rekam jejak percintaannya yang cukup mencengangkan.
Sebagai gambaran, Lukman memiliki 24 mantan semenjak ia SMP dan puluhan perempuan lain yang tidak termasuk ke dalam daftar ‘pacar resmi’-nya. Puluhan perempuan itu bisa jadi selingkuhan, teman tapi mesra, kakak-adikan, atau bahkan sekedar friendzoned. Saya sendiri mengaku sempat terjebak dalam area friendzone Lukman, namun sekarang kami bisa dibilang sudah menjadi sahabat (tidak, saya tidak sedang menyangkal perasaan saya sendiri, kok). Di luar semua kelakuannya yang melampaui batas, Lukman memang merupakan seorang teman yang baik. Dia selalu berhasil membuat saya nyaman dengan menjadi pendengar yang baik dan kata-katanya yang menenangkan. Ya, kemampuannya memikat perempuan memang sudah natural.
Berhubung saat ini saya bersahabat dengan Lukman, ia sudah sangat terbuka kepada saya soal pengalamannya di dunia percintaan yang tergolong ekstrem itu. Hal ini membuat saya tidak ragu untuk bertanya padanya mengapa ia suka berganti-ganti pacar dan teman dekat. Lukman dengan semangat menjawab, “Ya, soalnya seru aja. Gue suka banget tuh rasanya geli-geli diperut kalo lagi deketin cewek. Kalo sensasinya udah hilang, ya gue cari lagi cewek lain. Deg-degan banget sih kalo hampir ketahuan selingkuh, tapi justru gue merasa senang kalo gue berhasil melakukannya dengan mulus.” Mendengar itu semua, saya cuma bisa bengong. Lukman tertawa melihat saya bengong.
Dia pun melanjutkan, “Gue dari awal selalu bilang kok ke cewek-cewek gue, kalau hubungan ini dibawa santai aja, dan mereka selalu setuju. Gue emang belum siap sama yang namanya komitmen. Kalau ada cewek yang nunjukkin tanda-tanda pengin serius–seperti contohnya: lo–mendingan gue mundur aja dari awal.” Saya mengangguk-angguk, dan baru benar-benar mengerti alasan Lukman dari awal hanya mau menjadikan saya teman. Ucapan Lukman barusan sekaligus membuat saya lega karena sudah berhasil keluar sebelum sempat jatuh terlalu dalam ke dalam permainan cintanya.
Dari cerita saya di atas, bisa dibilang bahwa Lukman menjadikan cinta sebagai salah satu alat permainan. Seperti sedang bermain video games, ia menganggap jatuh cinta sebagai suatu hiburan yang menyenangkan dan harus dilakukan dengan penuh strategi. Ia melakukannya terus-menerus, dan merasa senang jika berhasil melalui level yang sulit. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah kondisi tersebut dapat disebut dengan cinta? Mungkin kita sebagai orang awam langsung berseru, “Tidak!”. Tapi, menurut Clyde dan Susan Hendrick, sepasang psikolog yang juga merupakan pasangan suami-isteri, kondisi tersebut dapat digolongkan ke dalam salah satu tipe cinta yang disebut dengan Ludus.
Saya mungkin tidak perlu lagi banyak memaparkan tentang tipe cinta Ludus, sebab secara umum, tipe cinta ini menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan yang dilakukan Lukman. Hal lain yang perlu diketahui adalah, hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa Ludus melibatkan lebih sedikit emosi dan perasaan dibandingkan jenis cinta yang lain. Jadi, tidak heran bahwa orang dengan tipe cinta Ludus tidak mudah patah hati dan terbukti lebih banyak menjalani hubungan tanpa status dibandingkan orang dengan tipe cinta lainnya.
Resiko menjalani percintaan yang penuh taktik dan tidak bertahan lama ini, membuat tipe cinta Ludus sebaiknya tidak ditiru oleh pemirsa di rumah jika memang belum kuat dan siap mental. Terkadang memang kita sendiri yang memilih untuk terjun ke dalam percintaan yang penuh permainan. Pada akhirnya, setiap cinta memiliki risikonya masing-masing, bukan?