Next
Simpang siurnya berita yang beredar di media, televisi pada khususnya, makin terasa pada saat-saat seperti sekarang ini, ketika masa Pemilihan Umum (Pemilu) beberapa waktu terakhir belakangan. Kesimpangsiuran berita yang selama ini, mungkin, tidak terlalu diperhatikan pun sekarang bisa menjadi fokus perhatian utama. Tidak heran, mengingat saat ini sekecil apapun isu yang beredar akan menjadi sangat sensitif dan bisa membentuk opini publik tersendiri di masyarakat.
Keberpihakan media pada satu kelompok atau golongan semakin terasa menjelang Pemilu minggu lalu hingga saat ini. Seolah, isi media tergantung dari siapa pemilik dan orang yang ada di belakangnya. Akhirnya, ketimpangan yang ada selama ini membuahkan petisi dari masyarakat yang menuntut diberhentikannya hak siar dua buah stasiun TV swasta. TV One dan Metro TV pun menjadi sasaran luapan emosi masyarakat atas konten berita yang mereka siarkan, yang dianggap masyarakat tidak berimbang.
Masyarakat merasa bahwa kedua stasiun TV tersebut menyiarkan berita bohong dan tidak berimbang terkait dengan berita pemilihan presiden dan juga hasil quick count Pemilu yang berlangsung minggu lalu (9/7).
Pemuda asal Lhokseumawe, Teuku Kemal Fasya melalui change.org menggalang suara untuk mencabut hak siar TV One yang ia nilai telah lama menyebarkan berita propaganda, kabar bohong, dan fitnah. Sejak dikeluarkan (kurang lebih seminggu lalu) hingga saat sekarang, petisi ini sudah ditandatangani lebih dari 30.000 pendukung.
Selang beberapa hari dari petisi tersebut dikeluarkan, satu lagi petisi yang sama muncul dan menyerang Metro TV. Kali ini Masyarakat Transparansi Informasi Indonesia muncul sebagai penggagas petisi untuk mencabut hak siar Metro TV. Masyarakat Transparansi Informasi juga menilai bahwa Metro TV telah lama menyebarkan berita yang mengandung unsur propaganda, fitnah, dan bisa memecah belah kesatuan.
foto: tempo.co
What's On Fimela
powered by
Next
Seperti yang dilansir dari Kompas.com, Ketua Koalisi Independen Demokratisasi Penyiaran (KIDP) yang juga merupakan wakil dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Eko Maryadi mendesak pemerintah untuk mengevaluasi bahkan mencabut hak siar kedua stasiun TV swasta tersebut. Eko menilai kedua stasiun TV ini terus melakukan pelanggaran dengan menggunakan frekuensi publik untuk kepentingan peserta Pemilu.
Padahal, Pasal 36 ayat 4 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran berisi, "Isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan golongan tertentu.” Namun, sepertinya peraturaan tersebut tidak diindahkan oleh kedua stasiun TV ini dengan terus mengeluarkan berita yang tidak berimbang.
Tak hanya TV, sekarang ini masyarakat sulit, bahkan hampir sudah tidak bisa lagi menikmati dan mengonsumsi konten berita yang sifatnya netral (tidak berpihak). Rasanya prinsip ‘netral’ dan ‘berita berimbang’ yang seharusnya menjadi landasan wajib setiap media dalam memproduksi berita, kini tidak lagi diindahkan.
Sampai kapan masyarakat harus “menelan” semua berita yang diproduksi demi kepentingan golongan? Seolah kini kita tak punya lagi pegangan untuk mencari tahu kebenaran. Sudah matikah jurnalistik di tengah semakin berkembangnya industri media?