Next
Akhir Februri lalu, FIMELA.com bertemu Amelia Masniari atau lebih terkenal dengan sebutan Miss Jinjing di bilangan Kemang. Membuka perbincangan, kami membahas tentang kegemaran perempuan Tanah Air yang berbelanja hingga luar negeri (Pst, termasuk petinggi lho. Tunggu pembahasannya segera ya, Fimelova!).
Selanjutnya, topik perbincangan semakin menarik tatkala ia membahas soal keberadaan social climber yang semakin menjamur beberapa tahun belakangan di kalangan sosialita Ibukota. Menurut penuturannya, para social climber terlihat rela melakukan apapun demi bisa diterima di kalangan atas –termasuk menjadi perempuan ketiga dari rumah tangga orang lain.
Sebenarnya sebagai individu sosial, Roslina Verauli M. Psi., mengemukakan kalau hasrat ingin berada di sosial tertentu sangatlah wajar. Menjadi berlebihan bila perempuan ingin menjadi social butterfly dalam setiap kalangan atau masuk ke dalam social circle tingkat atas padahal sebenarnya ia tidak masuk dalam kalangan itu.
What's On Fimela
powered by
Next
Trauma masa lalu
Dalam suatu kesempatan, Miss Jinjing pernah kecolongan mengajak seorang social climber ikut sebuah shopping tour di Bangkok. “Gayanya sudah selangit, ternyata "simpanan" orang. Justru mereka ini yang lebih napsu belanja ketimbang para sosilita-nya, lho!,” ungkapnya dengan nada heran. Ia berpendapat, “Kelakukan mereka sangat bikin ‘takjub’! Ada dorongan untuk menaikkan status sosial dan aku melihat sendiri mereka rela melakukan apapun. Sayangnya, mereka ingin ‘terlihat’ di suatu kalangan lewat barang-barang bermerk dan mahal yang dikenakan di badan,” ucapnya masih dengan nada heran.
Dorongan yang dimaksud Miss Jinjing menurut Vera, “Adalah obsesi namun bukan obsesif. Adanya pikiran berulang dan besar untuk mencapai kondisi status sosial yang diinginkan,” jelasnya. Vera kembali memaparkan banyak ragam latar belakang perempuan menjadi seorang social climber, salah satunya pengalaman persona yang (mungkin) pernah direndahkan dalam situasi sosial tertentu. Selain trauma masa lalu, dorongan apa lagi yang mampu bikin perempuan setengah mati menggapai sebuah status sosial? Klik selanjutnya, Fimelova!
Next
Cara instan
“Normalnya setiap orang ingin memiliki power (superior) agar merasa lebih baik. Bila umumnya tahapan superior diraih dengan menoreh prestasi namun ternyata tidak demikian bagi para social climber ini. Mereka cenderung ingin menggapai tahapan superior secara instan, yaitu melalui status sosial,” jelas Vera.
Dari pengakuan Miss Jinjing pun kami mendapatkan banyak tingkah laku menarik pada social climber. Salah satunya, “Ada seorang artis tidak perlu disebut namanya –Ia sekarang mencalonkan diri menjadi seorang wakil rakyat. Dalam sebuah sosial media, perempuan ini tiba-tiba mengklaim punya seratus lebih tas Birkin Hermes. Padahal dia ngetop baru berapa lama, sih? Setahu aku malah kalau pesan di toko aslinya itu harus menunggu sampai lima tahun, itu pun kalau beruntung! Dan secara logika nggak semua tas yang dijual untuk orang Indonesia saja, kan?,” cerocos Miss Jinjing menjelaskan keanehan yang dilakukan si social climber
Next
Stres sampai depresi
Tingkah ‘berlebihan’ memang akan selalu dilakukan oleh para social climber untuk menggencarkan keinginannya. “Sebagian besar memang terdorong oleh faktor ekonomi, ya. Mereka rata-rata memilih pasangan dengan melihat status sosial jadi nggak heran bila banyak yang juga mau dijadikan simpanan para pengusaha atau petinggi,” tutur Vera kembali.
Menjalani kehidupan sebagai social climber memiliki risiko tinggi pada diri sendiri, Fimelova! Keadaan tersebut sama saja dengan memaksakan diri untuk menjadi seseorang yang bukanlah dirimu. “Banyak tekanan pribadi yang nantinya menimbulkan stres dan malah nggak jarang banyak yang depresi,” ungkap Vera.
Next
Superficial friendship
Masih menurut Vera, biasanya para social climber cenderung memiliki kebiasaan berbohong –misalkan tentang asal usul dan lainnya. Secara tidak sadar, “Mereka mengaburkan kepribadian mereka dan ujung-ujungnya bisa jadi kehilangan identitas diri,” jelas Vera.
Sayangnya, pertemanan yang terjalin pun ternyata hanya superficial saja. “Mereka picky dalam berteman dan biasanya hanya memilih dari kalangan sederajat atau di atas mereka. Memang terkesan berteman namun bila dilihat lebih dekat lagi sayangnya tidak mendalam,” tambah Vera.
Next
Kebangkrutan finansial
Dalam kehidupan berumah tangga, keadaan yang dipaparkan Vera (sudah pasti) bisa menjadi boomerang. Nggak jarang malah menurutnya banyak yang akhirnya memutuskan untuk bercerai karena kebangkrutan finansial –memiliki gaya hidup jet set yang memang ternyata sebenarnya tidak bisa dipenuhi.
Next
Hargai diri sendiri
Agar tidak ikut terseret dalam gaya hidup para social climber ini, ada baiknya menurut Vera, kamu harus belajar menghargai diri sendiri! Selebihnya, kelilingi dirimu dengan pertemanan yang real. “Diperlukan hubungan intim sosial yang mendalam dan bukan hanya dipermukaan saja. Dalam pertemanan seperti ini kamu akan mendapatkan feedback yang positif. Mereka biasanya akan mengingatkan kamu bila apa yang kamu melakukan hal yang melenceng. Hal ini nggak berlaku saat kamu menjalani fake friendship,” ungkapnya. Yang sama penting, jalin hubungan mendalam terhadap keluarga dan Sang Pencipta.
Bagaimana menurutmu, Fimelova, sepadankah identitas dirimu dikorbankan demi bisa masuk dalam kalangan sosial tertentu?