Next
Di tengah jadwal yang padat menjadi ambassador JiFFest 2013 bersama Prisia Nasution (baca artikel kami tentang Pia di sini), Joe menyempatkan waktu untuk mampir ke FIMELA.com. Such an honor for us to meet one of talented guy in acting such as him.
Dengan senyum ramah, Joe yang tampil kasual memakai kaos putih, jeans, lengkap dengan sneaker membuka pembicaraan soal pengalamannya terlibat di JiFFest 2013 kemarin. “It’s very interesting to be a part of JiFFest 2013. Keseluruhan acara yang digelar kemarin jadi satu langkah pintar untuk bikin masyarakat lebih aware terhadap film,” ungkap lelaki kelahiran 23 Juni 1981 ini. “Jujur, lewat festival-lah nama saya mulai dikenal. Lewat festival pula akhirnya saya dapatkan banyak peran. Sekarang ada festival legit di Indonesia yang minta saya jadi ambassador? Saya kira tidak ada alasan untuk menolaknya,” lanjutnya mengobrol tentang alasan bersedia ambil bagian di festival yang sukses digelar November 2013 lalu.
Perbincangan kami pun berlanjut ke masa ia mulai menjajaki film action pertamanya, The Raid : Redemption. “Dasar ilmu bela diri jadi added value buat saya masuk ke dunia film. Tak banyak aktor yang bisa melakukan hal itu. Bagi saya aktor yang berkualitas harus memiliki nilai tambah lebih, bisa dari kemampuan berbahasa, menari atau apapun,” katanya dengan nada bangga. Dunia bela diri memang sudah dilakoni Joe sejak kecil. Lelaki bermata sipit ini menguasai judo dan wushu. Keseriusan Joe melakoni dunia bela diri mengantarkan ia pada medali emas di kejuaraan judo Asia Tenggara 1999 dan medali perak di SEA Games 2007. Dua tahun setelahnya ia membuat keputusan ekstrim untuk pensiun dari dunia atlet dan lalu menaklukkan dunia seni peran.
Next
Menantang Diri Sendiri Lewat Film Drama
Usai sukses melakoni peran di 3 film action sekaligus – The Raid : Redemption (2012), Dead Mine (2012), dan Fast and Furious 6 (2013), Joe menantang dirinya untuk berperan di film drama. Well, dilihat dari perjalanan perfilmannya, Joe sebenarnya sudah terlebih dahulu bermain di film genre tersebut lewat Karma dan Rasa. “I challenge myself to get out of the box and do something else. I did couple times. Terakhir saya berperan sebagai orang Jepang bernama Yamada di film drama berjudul La Tahzan. Saya lakukan observasi selama tiga bulan. Belajar bagaimana orang Jepang berbicara dan bereaksi,” ceritanya.
Manakala FIMELA.com tanya tentang peran yang ingin sekali ia mainkan, Joe mengaku tidak memiliki patokan peran. “It’s all about script. Aku tidak memiliki karakter yang dihindari. Mau karakternya bagus tapi script-nya jelek, percuma saja. Bagi saya seni peran tidak memiliki limitation,” celetuknya.
Bila dalam film action dibutuhkan stamina ekstra, dalam film drama sisi emosional-lah yang lebih banyak ditonjolkan. Bringing out the emotional sense is the most challenging part in drama movie for Joe. Tapi lelaki asal Palembang ini punya cara sendiri membangkitkan sisi emosionalnya. “Di usia saya yang sudah 33 tahun, saya sudah melewati banyak pengalaman. Mulai dari ditinggal selamanya oleh orangtua atau teman, menang atau kalah dalam sebuah pertandingan, dan semua emosi lainnya. Fragmen emosi tadi saya ambil ketika saya menemukan peran dalam film drama,” ungkap lelaki yang ingin bekerjasama dengan Mira Lesamana dan Riri Riza ini.
Meski sibuk dengan kegiatan syuting, Joe tetap mengutamakan pola hidup sehat untuk menjaga staminanya. Ia mengaku jadwal padat tidak membuatnya absen untuk latihan fisik setiap hari dalam beberapa jam. “Olaharga lari jadi pilihan tepat menurut saya karena tidak memerlukan banyak alat. Soal pola makan, saya secara teratut mengkonsumsi makanan bergizi dan menghindari makanan siap saji,” ucapnya. Kegemarannya akan olahraga lari membuat The Color Run berani menggandeng Joe untuk bekerjasama. FYI, The Color Run adalah festival lari 5K yang telah digelar hampir di seluruh dunia. Tanggal 26 Januari 2014 nanti, untuk pertamakalinya The Color Run hadir di Jakarta.
Next
Karir 1 Dekade
Dari antara banyak mimpi di dunia film, Joe memiliki satu hal terpendam yang ingin dicapainya dalam jangka panjang, “Survive dalam 10 tahun karir merupakan suatu big achievement. Tidak mau muluk-muluk, hanya ingin maintenance karir yang ada dan memberikan yang terbaik bagi para penikmat film,” katanya.
Ya, bertahan di dunia perfilman tanah air memang tak semudah membalikkan telapak tangan mengingat ada saja hal yang sulit ditebak terjadi. Nasib film Indonesia dengan penggarapan serta promosi apik terkadang hanya bertahan kurang dari sebulan. Entah karena tergerus film Hollywood atau malah kalah karena film lokal yang lebih “menjual” di pasar. “Bagi saya yang penting happy melakukannya. Jadi, kalau filmnya tak berhasil terjual saya tidak merasa kalah 100 %,” ungkapnya sambil bersiap melakukan pemotretan bagi JiFFest 2013.