Curhat Psikolog Ratih Ibrahim, Soal Karier dan Konflik Hidup

Fimela Editor diperbarui 13 Sep 2013, 06:29 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Guru, pekerjaan pertama yang membuatnya jatuh cinta

FIMELA.com beruntung karena di sela-sela agendanya yang padat selama satu bulan, kami masih bisa berbincang-bincang dengan seorang Ratih Ibrahim di tempat praktiknya, Personal Growth, yang terletak di daerah Jakarta Barat. Suasana yang sangat cair dan intim membuat obrolan mengalir begitu saja.

Melihat penampilannya yang tomboy dan cukup cuek, siapa sangka bahwa ibu dua orang anak ini memiliki kepedulian cukup tinggi pada pendidikan anak. Memilih pengkhususan psikolgi klinis, Ratih memilih mengabdikan diri sebagai guru di sebuah sekolah selama 6 tahun.

“Saya saat itu memilih psikologi klinis dan mendapatkan pekerjaan pertama sebagai guru di sebuah sekolah. Jujur, saya bukan fans berat anak-anak, tapi ada idealisme tersendiri dalam diri saya bahwa saya ingin membangun Indonesia. Di mana lagi kita bisa mulai membentuk seseorang jika bukan lewat pendidikan? Dulu saya juga pernah ditawari untuk menjadi dosen di universitas tempat saya menimba ilmu dulu. Tapi, saya memilih untuk menjadi guru. Saya sangat suka bekerja di sana karena buat saya saat itu saya tidak bekerja. Saya main-main dengan anak-anak remaja yang dipenuhi dengan kegalauan. Walaupun pada saat itu cukup banyak teman yang mengejek dan mencela keputusan saya,” ujar Ratih mengenang.

Cukup lama ia menghabiskan waktu sebagai Psikolog di sebuah sekolah, namun ia harus menarik diri dari dunia pendidikan anak saat harus melahirkan anak pertamanya.

...cikal bakal Personal Growth (next page)

 

3 dari 4 halaman

Next

 

Cikal bakal berdirinya Personal Growth

Cukup lama menanti kehadiran anak pertama, Ratih memutuskan untuk mundur dari pekerjaannya sebagai Psikolog di sebuah sekolah saat akan melahirkan dan mengasuh anaknya. Saat anaknya cukup umur untuk ditinggal, perempuan yang selalu tampil dengan rambut pendeknya ini bergabung dengan LPT (Lembaga Psikologi Terapan) UI. Dan ternyata, keputusannya untuk “nyemplung” di LPT UI menjadi kunci untuknya membuka praktik pribadi.

“Setelah dari sekolah, saya bergabung dengan LPT UI. Dan puji syukur klien yang saya tangani juga cukup banyak. Dari sana, banyak di antara mereka (klien) yang meminta saya untuk membuka praktik pribadi. Alasan mereka adalah agar bisa berkonsultasi lebih nyaman. Kemudian, saya membobol tabungan yang saya punya dan akhirnya bisa membuka praktik pribadi. Tempat praktik pertama saya buka di atas rumah. Tapi, karena semakin lama klien juga banyak dan saya mulai khawatir dengan “kesehatan” keluarga, saya memindahkan praktik ke tempat ini. Kebetulan memang pada saat itu ada tempat yang dijual cukup murah,” Ratih bercerita.

Kini, praktik pribadi yang ia buka berkembang sangat pesat. Semakin banyaknya klien, membuatnya terpaksa menarik Psikolog lain untuk membantunya. “Terjun di dunia psikologi pada kenyataannya tidak seromantis yang terlihat di luar. Jangan pernah berniat untuk menjadikan Psikolog sebagai profesi. Syarat utama untuk menjadi seorang Psikolog adalah cinta pada ilmunya. Kalau orientasi kita sudah profesi dan materi, yang ada justru kita malah bisa tertekan dan bukan tidak mungkin malah ada di posisi sebagai pasien,” papar Ratih sambil tertawa.

banyak side job, tapi...

 

4 dari 4 halaman

Next

 

Banyak “side job”, Psikologi Klinis tetap jadi jalan hidupnya

Memutuskan untuk memilih psikologi klinis, tentu bukan tanpa alasan. Dan hingga saat ini, walaupun cukup banyak pekerjaan tambahan, sebagai publik figur misalnya, Ratih tetap mengukuhkan dan memperkenalkan dirinya sebagai Psikolog Klinis. “Basic-nya ilmu psikologi adalah psikologi klinis. Jadi, saya ingin kembali ke sesuatu yang mendasar. Dari psikologi klinis kemudian bisa merambah ke berbagai cabang. Walaupun saya datang ke sebuah perusahaan, atau acara, atau publik figur, saya tetap berdiri sebagai seorang Psikolog Klinis. Saya ingin tetap berdiri sendiri secara independent tanpa ada pengaruh dan campur tangan siapapun pada karier saya saat ini,” ujar Ibu yang hobi traveling ke berbagai tempat menantang ini.

Rumah jadi masalah utama!

Sebagai seorang Psikolog, bukan berarti alumni Universitas Indonesia ini bisa lolos dari jarring masalah. Untuk perempuan yang memiliki hobi melukis ini ‘rumah’ dan ‘diri sendiri’ menjadi masalah utama yang masih berat ia hadapi.

“Bohong kalau saya bilang saya tidak punya masalah. Buat saya, yang menjadi masalah utama dalam hidup saya adalah ‘rumah’, terkait dari hal sepele hingga ketika ada anggota keluarga yang sakit. Inilah yang menjadi big stressor buat saya. Selain itu, ‘diri sendiri’ juga menjadi musuh. Mood saya mudah terganggu saat perut saya lapar dan tidak enak badan. Jadi, sebenarnya tidak ada masalah yang terlalu besar yang mengganggu. Memang berhadapan dengan klien yang datang dengan beragam masalah juga menimbulkan tekanan tersendiri. Justru saat itulah ketabahan dan profesionalitas saya diuji. Bisa saja saya nangis dan membutuhkan waktu sendiri usai berhadapan dengan klien. Masih manusiawilah,” ujar penggemar grup musik Sting ini menutup pembicaraan.