Next
Berhenti sebagai wartawan, bukan berarti ia juga berhenti dari hobi menulisnya. Label ‘Dalang’ yang melekat pada dirinya tentu saja membuatnya lebih fokus memerhatikan masalah seni budaya Indonesia. Tak sekadar masalah kebudayaan, politik pun tak lepas dari pengamatannya. Teman karib dari Butet Kertaradjasa ini terkenal dengan komentar-komentar nyeleneh-nya yang tidak jarang membuat orang tertawa miris. “Guyonan” dan sentilan yang dilemparkan Tejo kerap berlawanan dengan opini publik yang beredar. Antimainstream, sepertinya kata yang cocok untuk menggambarkan sosok dan pribadi lelaki asal Jember ini.
Next
Di luar dugaan, penonton yang hadir bukan hanya orang dewasa, tapi anak-anak dan remaja juga hadir dalam pertunjukan ini. Walaupun sebenarnya, saya akui, cukup banyak konten pertunjukan yang tidak sesuai untuk dikonsumsi anak-anak. Namun, Bahasa Jawa yang digunakan selama pertunjukan pun menjadi “filter” sehingga anak-anak tidak bisa langsung menyerap konten-konten yang tidak sepantasnya.
Next
Lagi-lagi, sisi seorang Tejo pun jelas terlihat dalam ‘Maha Cinta Rahwana’. Jika pada umumnya orang mengagung-agungkan sosok Rama dan Sinta dalam cerita ini maka Tejo pun menonjolkan sikap satria seorang Rahwana mampu menjaga kesucian dan tidak menyentuh Sinta sama sekali. Tejo mengaku bahwa konser ini mengandung banyak elemen dan ekspresi seni yang selama ini ia geluti. Tak ada batasan antara seni tari, nyanyi, dan bersastra. Semua melebur jadi satu dalam konser ini. Happy 25th anniversary, Cuk! Pastinya masyarakat berharap Mbah Tejo bisa tetap memberikan napas pada dunia seni budaya Indonesia.