Masyarakat Kurang Bijak, Social Media Bisa Berubah Jadi Alat Provokasi!

Fimela Editor diperbarui 30 Agu 2013, 10:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Rasanya tidak ada yang mampu menyaingi kecepatan up date berita yang ditawarkan oleh social media. Twitter, path, dan facebook senantiasa siap memberikan informasi terbaru yang berubah setiap detik. Tidak sekadar informasi terbaru, besarnya pengaruh social media juga membuat pelaku usaha melirik media yang satu ini sebagai alat untuk tetap menjalin hubungan dengan konsumen mereka. Karena itu, tidak sedikit pula masyarakakt yang mengungkapkan kekecewaan, komplain, dan mengajukan saran terhadap satu perusahaan melalui social media.

Dan dengan taruhan reputasi serta citra, pihak perusahaan pun pastinya sesigap mungkin memberikan tanggapan kepada masyarakat yang menyampaikan pendapatnya melalui social media. “The power of social media. Hampir 3 hari tidak mendapat kejelasan dari satu bank untuk mengurus surat. Satu kali komplain via twitter, keesokkan harinya urusan saya langsung beres. Bahkan, kepala cabang menelpon langsung untuk meminta maaf,” ujar Dede yang pernah bermasalah dengan sebuah bank swasta.

Bukan hanya itu, dalam hitungan detik, kita yang ada di Indonesia juga bisa tahu soal berita terbaru yang ada di negara bagian lain, sekalipun berada dalam zona waktu yang berbeda. “Mau nggak mau ke depannya semua akan menuju dunia digital dan akan lebih banyak bentuk digital lain. Dalam waktu yang bersamaan, kita bisa mendapat informasi yang sama dengan yang diperoleh oleh saudara kita di belahan dunia lain,” Shinta Dhanuwardoyo, founder Bubu.com berpendapat. Terbayang kan berapa cepatnya informasi dari negeri sendiri yang bisa kita dapatkan? Kasus tumpukan sampah sebagai buntut penikahan Atiqah Hasiholan-Rio Dewanto, tumpukan sampah di Jalan Sudirman usai acara maraton tanggal 25 Agustus 2013, dan yang terakhir adalah beredarnya video salah satu menteri yang tidak hapal lagu kebangsaan.

3 dari 3 halaman

Next

 

Sekejap, social media ramai oleh berita-berita tersebut. Saling repath, retweet, dan repost. Dengan demikian, dalam waktu satu per sekian menit, atau bahkan detik, informasi tersebut sudah menyebar ke ribuan pengguna social media. Berita, terutama yang bersangkutan dengan publik figur dan pejabat, akan mendapat tanggapan yang sangat cepat. Namun, sayangnya pertumbuhan teknologi dan internet di Indonesia yang terbilang sangat cepat tidak diimbangi dengan meningkatnya kecerdasan pengguna.

Tidak sedikit orang yang asal berkomentar dan tanpa terlebih dahulu melihat serta mencari tahu berita yang mereka baca sekilas. Kasus sampah pernikahan Atiqah-Rio, misalnya, beritanya langsung naik begitu seseorang bernama Eric mem-posting foto kondisi Pulau Kelor usai pernikahan Atiqah-Rio. Sontak banyak repath, retweet, dan repost dari berita ini. Komentar negatif dan dukungan pun bergulir kepada pasangan ini. Gerah dengan pemberitaan yang ada, Atiqah dan Rio melakukan klarifikasi melalui akun twitter pribadi mereka.

Dan yang terbaru dan masih beredar adalah video salah satu menteri yang tidak hapal lirik lagu kebangsaan. Aksi sang menteri ditayangkan oleh sebuah stasiun TV. Namun, tentu tidak semua orang bisa menyaksikan tayangan tersebut di TV. Lagi-lagi, the power of social media beraksi. Rekaman aksi sang menteri pun beredar di berbagai social media. Komentar yang bersifat cibiran lebih banyak mengarah kepada sang menteri. Tak sekadar ramai di social media, masalah ini pun kemudian langsung menjadi bahan pemberitaan berbagai media.

The power of social media! Tidak bijak dalam menggunakannya, social media justru bisa menjadi bumerang, senjata makan tuan. Contoh nyata terjadi pada Ustad Solmed. Tweet yang ia tujukan kepada TKI Hongkong banyak menuai protes hingga akhirnya saat ini, ia dengan sendirinya mengeluarkan permintaan maaf. Tidak hanya itu, masih kurangnya kemampuan masyarakat untuk menyaring berbagai informasi yang masuk, bukan tidak mungkin justru bisa mengubah social media menjadi alat provokasi.

Bukan social media, teknologi, dan jaman yang salah. Hanya saja memang diperlukan kearifan dan kebijaksanaan masyarakat dalam memanfaatkan fasilitas tersebut. Jangan sampai social media justru berubah jadi gudang provokasi. Setuju?

 

foto: berbagai sumber