Next
Ustad-ustad tersebut pun semakin laku saat umat Muslim memeringati perayaan Hari Besar, terutama saat Ramadhan dan Idul Fitri. Ditambah lagi, pihak pengelola dunia hiburan melihat momen seperti ini sebagai peluang bisnis yang menguntungkan. Tak sekadar acara siaran rohani, sinetron reliigi yang memuat unsur siraman rohani pun mulai menggandeng para ustad, baik ustad yang memang sudah memiliki nama di masyarakat maupun ustad yang belum dikenal. Dampaknya, pasti nama para ustad pun semakin menempel dengan masyarakat.
Adalah Ustad Solmed, seorang ustad yang awalnya dikenal sebagai sosok ustad di masyarakat dengan ikut ambil bagian dalam sebuah sinetron. Nama Ustad Solmed pun kian melambung. Wajahnya kerap kali muncul di berbagai acara televisi, mulai dari acara siraman rohani hingga infotainment, tidak heran karena Solmed memang kali pertama muncul ke hadapan publik lewat dunia hiburan (sinetron) serta menikah dengan salah satu pemain sinetron.
Next
Tak terima dengan pernyataan dari penyelenggara pihak Hongkong, mantan petinggi FPI ini pun muncul di berbagai infotainment untuk memberikan klarifikasi kepada masyarakat. Dalam berbagai tayangan, Solmed mengatakan pihaknya membatalkan kerja sama karena pihak penyelenggara di Hongkong memungut bayaran kepada jamaah yang akan hadir. Padahal (menurut Solmed) ia sudah memberikan syarat kepada pihak penyelenggara agar tidak menjual tiket ceramah, jika itu masih dilakukan oleh pihak penyelenggara maka Solmed tidak akan hadir. Tak hanya di televisi, Solmed pun mulai berkoar di social media dan sayangngya ada satu pernyataan Solmed yang cukup menyakitkan para TKI (tenaga kerja Indonesia) Hongkong. Konflik pun seolah berlarut dan kini, bukan hanya masalah Solmed, para ustad dan dai yang termasuk dalam kelompok Ustad Selebriti pun mau tidak mau jadi ikut terbawa.
Next
Jajang Jahroni, pengajar di sebuah perguruan tinggi negeri Islam Jakarta, pernah berceloteh di akun twitter pribadinya perihal masalah Ustad Selebriti yang mematok harga tinggi untuk ceramah. Bahkan, Jajang tidak segan untuk menyebut nominal yang menjadi tarif para ustad dalam satu kali ceramah di sebuah acara.
“Ustad adalah public preacher yang keahliannya dibutuhkan oleh masyarakat. Kini, profesi ini menjadi showbiz. Dalam showbiz seorang ustad harus punya daya jual. Ustad-ustad yang tampil di TV punya ciri khas. Lalu mereka tentukan honor. Mereka juga punya manajemen yang atur jadwal, kontrak, klaim, royalti, dsb. Si ustadz tinggal ceramah. Berapa tarif Mamah Dedeh untuk sekali ceramah? 40 juta. Ustad Uje 25 juta, Ustad Maulana 25 juta,” tulis Jajang dalam twitternya.
Sontak, banyak yang memberikan respon terhadap kicauan Jajang. Rasanya tidak salah juga jika sang ustad memasang tarif kepada pihak-pihak yang mengomersilkan nama mereka. Komersil? Yup, lihat saja, berapa banyak iklan yang kemudian menggandeng para ustad yang sedang naik daun tersebut. Atau dengan sengaja menggandeng ustad tertentu demi mendatangkan keuntungan bagi mereka. Namun, tentunya diperlukan sikap berbeda dari sang ustad dan manajemen mereka dalam menghadapi urusan ceramah yang tidak bersifat komersil.
Jika para ustad, ustadzah, dan dai terus mematok tarif tinggi kepada pihak yang ingin mengundang mereka, dapatkan dibayangkan kapan saudara-saudara di pelosok desa bisa mendengar siraman rohani langsung dari ustad-ustad idola mereka? Sepuluh juta rupiah tentu bukan angka yang sedikit untuk masjid dan langgar kecil di pedalaman Indonesia.