Selama hidup, Katie tak akan pernah merasakan menstruasi. Itu karena kelainan pada dirinya yang secara medis disebut Androgen Insentivity Syndrome (AIS). Kelainan yang diderita Katie termasuk salah satu jenis interseks, kondisi di mana seseorang tak bisa menentukan jenis kelaminnya sendiri, laki-laki atau perempuan. “Walaupun memiliki dua kromosom X seperti perempuan lain, aku juga punya kromosom XY yang dimiliki laki-laki,” buka Katie.
Kelainan ini baru diketahui saat Katie menjalani operasi akibat hernia di umur 6 tahun. Sejauh ini, tak ada solusi untuk “menyembuhkan”-nya, selain menerima dan memberikan dukungan psikologis kepada penderita. “Aku tak pernah tahu persis apa sebenarnya yang kualami, sampai umurku 17 tahun. Orangtuaku memang sudah memberitahu sedikit soal tak ada menstruasi, kehamilan, dan semacamnya, tapi aku tahu secara detail sejak saudara perempuanku menemukan informasi soal AIS yang identik dengan yang kualami,” tambah Katie.
Mengetahui dirinya berbeda, Katie mengakui sempat tertekan melewati masa remajanya. “Begitu suram dan depresi,” paparnya, mengingat lingkungan tak bisa menerima kondisinya. Katie kemudian mencari pelarian lewat hal positif, yaitu belajar. Barulah, ketika duduk di bangku kuliah di Haverford College, Amerika Serikat , Katie menemukan sahabat-sahabat terbaik, termasuk laki-laki yang mencintainya. Sam, cinta pertama dan sejati Katie, mau menerima Katie apa adanya hingga saat ini.
Tahun 2009, Sam melamar Katie di sebuah taman di Filadelfia dan tak lama kemudian mereka pun menikah. “Saat ini, kami berusaha memiliki anak, walaupun dengan jalan adopsi atau surrogate. Tak bisa memiliki anak adalah salah satu hal terberat yang harus kuterima, tapi Sam selalu bilang, ‘Aku tahu aku menginginkan banyak hal, tapi aku sadar yang benar-benar kuinginkan adalah kamu.’” Itulah yang makin menguatkan Katie. Sam dengan segala pengertiannya benar-benar telah menyempurnakan hidup Katie.
Seperti kebanyakan perempuan hebat yang dilahirkan dengan “sesuatu yang tak biasa”, hal itu tak menjadikan Katie larut dalam kesedihan, apalagi penyesalan. Katie justru bergabung dengan AIS Support Group untuk ikut memberi dukungan kepada orang-orang seperti dirinya. Bicara soal harapan, Katie juga ingin menjadi advokat untuk orang-orang dengan AIS. “Sulit meyakinkan para dokter untuk mengubah cara mereka. Perlu pendekatan khusus, sebagai seorang teman, untuk menangani pasien sepertiku. Karena itulah aku menempuh pendidikan di sekolah kedokteran dan mendapat gelar master di Bioetika. Aku berharap gelarku bisa menjadi jalan untuk lebih dekat dengan komunitas medis,” paparnya lagi.
“It feels incredible to help others with the pain I went through,” ungkap Katie kemudian, “Tak perlu merasa hina dengan interseks. Waktunya jujur dan membuang rasa malu.” Menjadi interseks bukan pilihan Katie, tapi dia diciptakan berbeda untuk menjadi kekuatan bagi sesama perempuan istimewa sepertinya. Begitulah, kita tak bisa menentukan lahir seperti apa, tapi bisa memilih jadi seperti apa suatu saat nanti. You’re alive for a reason.