Next
“Kami berbalik arah, teman-temannya mayoritas perempuan sementara aku laki-laki, dia suka ke mall sementara aku doyan traveling. Kasihan juga sebenarnya, dia sekarang jadi suka nge-gym, coba-coba naik gunung, dan latihan diving supaya bisa nemenin aku diving, padahal aku nggak pernah minta. Mungkin itu bukti keseriusannya, tapi sampai berapa lama dia bisa bertahan sama pilihannya sekarang?” Inka mengungkapkan kekhawatirannya lagi. Walaupun akhirnya dia pilih memenangkan perasaannya sendiri, “Memang keraguan masih mengganggu, tapi lepas dari itu aku selalu memaklumi semua tentang dia. Aku tetap merasa dia yang terbaik.”
“Tiap hal yang terjadi adalah proses pembelajaran untuk hubunganmu, termasuk proses saling menerima kekurangan dan kelebihan masing-masing. Jadi, jangan terburu-buru menyesalinya dan merasa tak ada jalan selain perpisahan,” ungkap psikolog Israele Euaggelion dari Psychological Assesement Centre LOVE. Saran yang hampir sama bisa kamu temukan di Life Strategies: Doing What Works, Doing What Matters karangan Phil McGraw. Di sana, McGraw mengungkapkan bagaimana seharusnya kita memperlakukan masa lalu. Pertama, sebelum melihat orang lain, kita harus melihat masa lalu kita sendiri. Apa masih berhak menilai masa lalu orang lain, sementara kita pun tak lepas dari masa lalu yang tak selalu berjalan mulus? Kalau sudah memutuskan berkomitmen, seharusnya kita siap menerima pasangan secara utuh, semua kebaikan dan keburukan, juga sejarah hidupnya. Yang terpenting, jangan biarkan perasaan negatif dari masa lalu menghantuimu.
Bukan cuma Inka yang punya keresahanan tentang masa lalu pasangannya. Mungkin kamu, juga teman kami yang lain, Tata (29, media relations). Masa lalu seperti bumerang, apalagi masa lalu itu ikut terbawa dalam hubungannya sekarang. Sialnya, pilihan untuk menerima pasangan apa adanya, malah bisa jadi alat bagi pasangan untuk memanfaatkan momen itu. Kadang-kadang.
“Dia terus-menerus memberi kejutan. Dari masa lalunya yang suka main perempuan, genit ke sana-sini, sampai beberapa kali kepergok masih suka menghubungi perempuan-perempuan sekadar untuk cari perhatian. Padahal, dia selalu bilang nggak akan mengorbankan hubungan kami dengan bermain api di luar sana. Mencoba percaya, apa daya kalau faktanya dia nggak berhenti berulah. Menerima masa lalu buruknya sangat sulit buatku, tapi dia nggak menghargai pengorbananku itu dengan terus berbuat kesalahan yang sama. Mungkin pikirnya aku akan memaafkan tiap kebodohannya. Dan sialnya, aku memang selalu memaafkan dia,” ungkap Tata.
“Terakhir, kami berpisah untuk meyakinkan diri masing-masing kalau kami berjodoh, tapi waktu berharga itu malah dia gunakan untuk dekat dengan perempuan lain, sementara denganku pun seolah memberi harapan,” lanjut Tata, “Aku seperti ditusuk dari belakang berkali-kali tapi berkali-kali juga memaafkan! Akhirnya aku memutuskan menyudahi semua. Aku nggak mau pengorbananku dimanfaatkan oleh orang yang sama sekali nggak bisa belajar dari masa lalu.”
Next
Inka dan Tata sama-sama berkorban untuk mempertahankan cinta mereka, tapi sejauh mana pengorbanan itu diperlukan? Pertimbangkan lagi, apa benar masa lalu tinggal masa lalu baginya, atau pasangan masih nyaman hidup dalam masa lalunya itu? Semua orang punya sejarah hidup. Namun, ada yang memilih hidup tetap di dalam masa lalu itu atau melihat ke depan dan menghargai hidup barunya. Ada orang yang belajar dari kesalahan di masa lalu, tapi ada yang masih terjebak dengan mengulang-ulang kesalahan yang sama.
Untuk hal semacam ini, cerdas dalam hubungan sangat diperlukan. Cinta memang bekal dalam komitmen, tapi tak cukup punya cinta untuk mendapatkan pasangan terbaik. Butuh kecerdasan untuk menerima realitas itu sendiri. Sia-sia berkorban untuk orang yang bahkan tidak sadar ada kami, ada kita, yang rela berkorban banyak untuknya.
Dalam tulisannya, “Cinta adalah Keintiman, Gairah, dan Komitmen”, psikolog Santy Yanuar Pranawati dari UKRIDA mengatakan kalau emosi dan logika harus dikawinkan. Penting, menggunakan hikmat untuk tidak menjadikan cinta hanya emosi sesaat. Percaya saja, siapa pun berhak mendapatkan pendamping terbaik, yang mau mengorbankan keegoisannya, bukan terus-menerus menuntut pengorbanan.
Bukan bermaksud menyudutkan laki-laki, tapi perempuan butuh lebih banyak “pencerahan” untuk sedikit saja keluar dari sebuah tempat bernama “perasaan menggebu”, dan mulailah berpikir untuk tak mengobral kesempatan. Kalau benar-benar cinta, seseorang tentu tak membutuhkan kesempatan kedua, ketiga, bahkan ketujuh untuk keluar dari masa lalunya dan memilih hidup baru bersamamu. Satu saja peluang akan dimanfaatkan sebaik mungkin demi perempuan yang dia sayangi.