Setelah Telan Korban di Yogyakarta, Bully Nyaris Renggut Nyawa Paris Jackson

Fimela Editor diperbarui 07 Jun 2013, 11:29 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Sudah bukan pembicaraan baru lagi, tapi sepertinya masyarakat masih belum sadar juga bahwa tindakan dengan tujuan mengintimidasi ini bisa memberikan dampak yang sangat serius. Membuat si korban mengalami gangguan psikis hingga kehilangan nyawa, merupakan akibat yang, mungkin, tidak pernah terlintas di kepala para pelaku bully.

Akhir Mei lalu, ketika media diramaikan oleh berita ricuhnya Upacara Waisak di Borobudur, industri seni dan kreatif di Jogja pada saat yang sama juga mengalami gonjang-ganjing. Adalah sebuah festival musik independen Locstock yang direncanakan digelar di Jogja selama 2 hari menjadi permulaan cerita. Bobby Yoga, pemilik Event Organizer Effort Creative yang menyelenggarakan acara Locstock, menjadi korban jiwa karena bully yang ia terima melalui social media.

Singkat cerita, acara Locstock kedua tahun ini menjadi carut-marut akibat ketidakjelasan pembayaran kepada pihak penampil dari pihak panitia. Kebo, sapaan akrab Bobby Yoga, pun kabur dari kecarut-marutan tersebut sambil membawa uang tiket acara. Acara berantakan, penonton kecewa, maka hujatan mulai bergulir di social media. Hujatan mengarah ke acara Locstock dan Bobby sendiri pun deras mengalir. Diduga tidak kuat menghadapi kencangnya arus bully yang ia terima dari social media, pada tanggal 26 Mei, Bobby ditemukan tewas mengenaskan tertabrak kereta api. Bobby bunuh diri dengan sengaja menabrakan dirinya ke kereta.

Ya, bully pun memakan korban jiwa. Tak hanya Bobby, puteri mendiang Michael Jackson, Paris Jackson pun, nyaris menjadi korban jiwa selanjutnya akibat bully yang ia dapatkan melalui social media. Paris Jackson dilarikan ke rumah sakit hari Rabu pagi karena overdosis dan juga luka dipergelangan tangannya.

3 dari 3 halaman

Next

Sebuah sumber yang dikutip dari E! News mengatakan bahwa Paris mengalami bully di sekolah. “Dia tidak punya seseorang yang bisa benar-benar dijadikan teman di sekolahnya. Ia merasa aneh dan berjuang sendiri di tengah-tengah situasi yang membuatnya tidak nyaman di lingkungannya sendiri,” ujar salah seorang sumber.

Beruntung, remaja berusia 15 tahun ini berhasil diselamatkan setelah dibawa ke rumah sakit oleh keluarganya Rabu dini hari. Entah masyarakat tidak peduli atau tidak mau tahu, bahwa bully sebenarnya bisa memberikan dampak yang sangat fatal seharusnya bukan sesuatu yang harus diberitahukan lagi.

“Seseorang dianggap menjadi korban bully ketika salah satu fungsi dalam hidupnya mulai terganggu. Perilaku anak berubah menjadi pemurung, menarik diri, malas belajar, atau mogok sekolah tanpa alasan yang jelas. Selama perilaku seseorang mengarah pada tindakan mengintimidasi, melakukan kekerasan (fisik ataupun verbal) terhadap orang lain sehingga orang tersebut tidak bisa berfungsi sebagaimana mustinya maka orang tersebut bisa disebut sebagai pelaku bully,” ujar Amanda Margia, Psikolog dan dosen Psikologi sebuah perguran tinggi swasta pada FIMELA.com.

Sampai kapan kita mau sadar dan menyadarkan orang-orang di sekitar bahwa mem-bully sama saja dengan merenggut hak hidup orang. Bagaimana tidak, jika si korban bully menarik diri dari lingkungan sosialnya bahkan hingga memutuskan untuk mengakhiri hidupnya, artinya pelaku bully secara tidak langsung sudah “mematikan” kehidupan korban. Mungkin, Paris dan Bobby hanyalah sedikit korban bully yang diketahui oleh massa, tapi sampai kapan dan harus berapa banyak lagi korban yang jatuh untuk bisa menghentikan bully di masyarakat?