Waisak Borobudur Jadi Ajang Wisata, Upacara Keagamaan Hilang Kesakralan

Fimela Editor diperbarui 27 Mei 2013, 04:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Seketika tiket kereta api menuju Jogjakarta untuk perjalanan pada tanggal 24 hingga 25 Mei habis terjual, pun terjadi pada tiket pesawat yang melonjak harganya. Nggak mengherankan jika hal ini terjadi pada tanggal merah. Tapi, mengapa hanya Jogja? Karena tanggal 25 Mei merupakan puncak perayaan Hari Raya Trisuci Waisak. Seolah semua masyarakat dari penjuru Indonesia, bahkan dunia, tersedot ke Jogja, karena puncak perayaan akan terpusat di Candi Borobudur, Magelang. Bisa menyaksikan langit malam ditutupi keindahan barisan 1.000 lampion pada puncak acara Waisak pasti menjadi harapan semua wisatawan yang datang ke sana.

Saya tiba di Jogja tanggal 25 Mei sore dan langsung menuju Candi Borobudur. Perjalanan dari bandara ke Borobudur yang biasanya hanya memakan waktu satu jam, harus ditempuh selama 2 jam lebih. Tiba di Borobudur pada pukul 18.30, petugas yang menjaga pintu masuk komplek Candi mengatakan tiket masuk sudah tidak lagi dijual untuk masyarakat umum. Namun, akhirnya saya pun bisa masuk. Akses masuk menuju tempat penyelenggaraan puncak acara sangat padat, berdesak-desakan, tak ada sedikit pun celah antara barisan pengunjung yang satu dengan pengunjung lainnya.

Sesampainya di pelataran Candi, saya melihat gelaran karpet kuning, yang menurut saya seharusnya menjadi tempat umat Buddha untuk mengikuti Hari Raya Waisak, sudah dipenuhi wisatawan lokal dan asing. Saya berani mengatakan bahwa perbandingan umat yang hadir untuk beribadah dengan wisatawan yang hanya ingin menyaksikan pelepasan lampion sebesar 55%: 65%. Mengapa? Umat yang benar-benar datang bisa dideteksi sekilas lewat seragam yang mereka kenakan ataupun name tag, yang saya duga diperoleh dari Vihara tempat mereka sembahyang.

3 dari 4 halaman

Next

Hujan mengguyur Candi Borobudur dan kota Magelang, semua orang yang hadir mulai kasak-kusuk. Yang semakin membuat miris, yakni ketika pihak panitia mengumumkan acara sedikit tertunda karena menunggu Menteri Agama RI, Suryadharma Ali, semua yang hadir di Borobudur sontak bersorak. Sempat terdengar di telinga saya, “Lama! Mana lampionnya?” Dan bisa ditebak pasti, bukan umat yang membuat gaduh, tapi justru pengunjung yang didominasi oleh anak muda. Sekali lagi, MIRIS!

Karpet tempat duduk yang disediakan panitia habis ditempati para wisatawan. Kelompok umat justru tidak mendapat tempat. Sekolompok umat Buddha, yang terdiri dari ibu-ibu dan bapak-bapak paruh baya, sebagian di antara mereka terpaksa berdiri karena tidak mendapat tempat duduk dan akhirnya pulang. Sementara di karpet, justru segerombolan anak muda, asyik foto-foto, main handphone, bercanda dan tertawa dengan suara keras, lahap memakan bekal yang mereka bawa. Mungkin, di kepala mereka terbayang bahwa ini adalah ajang PIKNIK!

Bukan hanya itu, mayoritas, pakaian para pengunjung pun sangat tidak layak untuk menghadiri sebuah upacara. Jika mereka memang menganggap Borobudur hanya sebagai objek wisata “biasa”, setidaknya ada sedikit penghargaan untuk mereka yang sedang merayakan ibadah. Rok pendek, celana pendek, kaos tanpa lengan, dandanan menor, dan pakaian-pakaian untuk konser musik dan pesta yang justru mereka kenakan. MIRIS!

4 dari 4 halaman

Next

Saat para biksu menjalani ritual Pradaksina (mengelilingi tempat suci, Candi Borobudur ) di tengah hujan yang terus mengguyur, biksu yang memimpin jalannya ritual pun harus berteriak-teriak mengusir orang-orang yang masuk dan mencoba menerabas altar utama. Awalnya saya pikir aneh seorang pemimpin umat melarang umatnya mengikuti ritual. Tapi kemudian, “Ini apa? Ngapain foto-foto di sini. Upacara belum selesai!” biksu tersebut berbicara dengan nada marah. Kemudian saya berpikir, tak salah jika biksu marah atau bahkan menghardik. Sayangnya, panitia terlihat kurang tegas dalam menangani para wisatawan yang tidak tahu aturan sehingga biksu pemimpin harus terus-menerus teriak untuk menghalau orang-orang yang mencoba mendekati altar. Sekelompok umat, dengan menggunakan seragam putih, yang berdiri tidak jauh dari saya mulai bergumam, “Bagaimana mau ikut pradaksina? Nggak bisa maju kita. Ngapain sih mereka di depan? Ngerti juga nggak. Tahun lalu nggak separah ini,” ujar salah seorang ibu pada temannya.

Pradaksina dan pembacaan doa lainnya selesai, menurut susunan acara, inilah saatnya pelepasan lampion yang banyak dinanti oleh para wisawatan. Namun, hujan yang tak kunjung berhenti memaksa panitia mengeluarkan pengumuman penting. Yup! Pelepasan lampion batal karena cuaca sama sekali tidak memungkinkan. Bisa ditebak tentu reaksi yang muncul, kan? Sorak-sorai bergemuruh, seketika orang balik badan dan pulang. Sebagian pun mengungkapkan kekecewaan mereka karena tidak bisa melihat pelepasan lampion yang sudah mereka nantikan di tengah hujan yang cukup deras.

Lagi-lagi, MIRIS! Jika memang para wisatawan ingin ikut menyaksikan keindahan bagian dari upacara Perayaan Puncak Trisuci Waisak, setidaknya, bersikaplah pantas dan tunjukkan rasa hormat layaknya sedang menghadiri upacara keagamaan. Berikan kesempatan kepada umat untuk beribadah, jangan justru malah umat tidak mendapat tempat di hajat mereka sendiri. Perayaan puncak Hari Raya Trisuci Waisak di Borobudur merupakan upacara keagamaan, yang harus dihormati, bukan acara PIKNIK, KONSER MUSIK, apalagi PESTA.