"Sang Penari" dan "Rectoverso", Bertamu ke Cannes Film Festival!

Fimela Editor diperbarui 16 Mei 2013, 05:00 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Pesta perfilman yang digelar sejak 15 sampai 26 Mei ini sengaja digunakan pemerintah untuk mengenalkan 50 film lokal di booth Indonesian Cinema di Marche du Film. Sementara itu, Sang Penari diikutkan dalam kompetisi kategori Competition Cannes Senior dan Rectoverso dalam European Premiere di seksi Antipoedes, Cannes Cinephile 2013.

Dalam laman resmi Cannes Film Festival memang kedua judul ini tak ditemukan, tapi dipastikan dua film andalan Indonesia ini akan bersaing dengan 18 film lain untuk memenangkan kategori Competition, Un Certain Regard, Out of Competition, Special screenings, Cinefondation dan Short Films.

Cannes Film Festival tahun ini sendiri mempercayakan sutradara Amerika Steven Spielberg sebagai ketua dewan juri kompetisi film dengan anggota para sineas terkenal, seperti Daniel Auteufil, Vidya Balan, Naomi Kawase, Nicole Kidman, Ang Lee, Cristian Mungiu, Lynne Ramsay, dan Christoph Waltz.

Menilik kembali film kita, Rectoverso adalah film omnibus tentang cinta yang dirilis 14 Februari 2013, diadaptasi dari karya Dee Lestari dengan judul yang sama. Tak tanggung-tanggung, lima sutradara muda berkolaborasi menghasilkan lima cerita dengan gaya masing-masing. Bicara tentang respons, dirilis bertepatan dengan hari kasih sayang dan menghadirkan cerita-cerita cinta yang menarik, film omnibus ini menjadi salah satu film lokal yang cukup laris.

3 dari 3 halaman

Next

 

Sementara itu, Sang Penari yang diadaptasi dari novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya sastrawan Ahmad Tohari juga salah satu film lokal yang diandalkan. Adaptasi karya sastra menjadi film ini mendapat apresiasi dan pujian, walau tetap tak lepas dari sejumlah kritik. Film yang mengangkat kehidupan masyarakat Dukuh Paruk tahun 60-an ini bahkan mengantarkan Prisia Nasution meraih piala Citra tahun 2011 dan lawan mainnya, Oka Antara, langsung menjadi idola karena totalitasnya berakting.

Jelas, ini langkah yang baik untuk perfilman Indonesia, mengingat baru satu kali film lokal berjaya di ajang ini, yaitu saat tahun 1989 film Tjoet Nja’ Dhien arahan Eros Djarot menyabet kemenangan di kategori Best International Film. Sang Penari dan Rectoverso sendiri menyusul dua film sebelumnya yang juga pernah pernah diikutkan dalam kompetisi Cannes Film Festival, yaitu Daun di Atas Bantal di Un Certain Regard tahun 1998 dan Kara, Anak Sebatang Pohon di Quinzaine des Realisateurs tahun 2005. Sayang, kedua film itu gagal membawa pulang piala. Lalu, apa nasib Sang Penari dan Rectoverso akan sebaik Tjoet Nja’ Dhien, atau malah sebaliknya? Hasil  jadi nomor dua, yang terpenting semangat berkarya anak bangsa terus tumbuh.