Berangkat sekitar pukul 06.00 pagi, selama 3 jam kami habiskan berkereta menuju Bandung dengan kereta wisata Bali, private train yang dalam satu gerbong hanya berisi 25 orang. Kami akan mengunjungi beberapa tempat bersejarah yang tak cuma punya cerita panjang, tapi juga romantis.
Sejuk langsung menyambut kedatangan kami. Saat terik matahari masih malu-malu, kami sudah dipertemukan dengan Si Pintar All-New Ford Focus yang akan mengajak kami berkeliling Kota Bandung. Saat itu, beruntung kami mendapat kesempatan berkendara dengan Mustard Olive, All-New Ford Focus keluaran terbaru yang warnanya super-unik. Siap menjadi pusat perhatian di jalanan, kami pun makin antusias.
Pertama, kami menuju tempat romantis paling favorit di Bandung. Bisa menebaknya? Ya, Observatorium Bosscha, lembaga penelitian dan pendidikan formal astronomi di Indonesia. Nama Bosscha sendiri diambil dari nama Karel Albert Rudolf Bosscha, tuan tanah di perkebunan teh Malabar, si penyandang dana utama pembelian teropong bintang tertua yang menjadi “maskot” di sana. Kami pun berkesempatan melihat langsung teropong bintang tertua itu, juga beberapa bangunan dan peralatan tua yang menarik.
Dari Bosscha, kami pun meluncur ke Villa Isola yang menjadi bagian dari Universitas Pendidikan Indonesia. Villa Isola ini dibangun seorang pengusaha jasa telegraf keturunan Jawa-Italia bernama Dominique Wille Berrety tahun 1932 dengan biaya sekitar 250 juta Rupiah! Arsitektur bergaya Eropa yang klasik tapi mewah bakal kamu temuin di sini. Sampai di lantai atas, kamu pun bisa melihat pemandangan indah dari berbagai sisi. Destinasi dari Bossche ke Villa Isola memakan waktu sekitar 20 menit, so kalau kamu mau melakukan wisata sejarah dalam sehari, kamu bisa mengunjungi kedua tempat spesial ini sekaligus.
Sudah mengunjungi dua tempat bersejarah, tak lengkap kalau tak menikmati makan siang di tempat yang juga kental dengan suasana tempo dulu. Insdischetafel pun jadi pilihan. Bangunan ini umurnya lebih dari 1 abad lho, Fimelova. Namun, Indischetafel sendiri baru berdiri sejak 2008. Semua yang ada di sini serba-vintage, termasuk para pemain musik yang menyambut kami dengan dandanan masa kolonial dan alunan musik syahdu. Eksotis, deh. Belum lagi, menu yang disajikan juga tak jauh dari “aroma” Belanda, misalnya poffertjes yang menjadi makanan penutup kami. Tahoe Garam Pedas dan Indische Soup, juga Beefstuk Noni Indische kami lahap siang itu, ditemani dinginnya Bandung yang diguyur hujan.
Tempat terakhir yang menjadi tujuan kami adalah Fourspeed, pionir pembuatan produk logam yang biasa bekerja sama dengan seniman, musisi, dan pekerja seni lainnya, seperti Slank, /rif, Naif, sampai Melanie Soebono. Di sini, selain melihat langsung barang-barang unik berbahan dasar logam yang dipajang, kami juga melihat langsung beberapa seniman yang sedang berkarya dan mendapat kenang-kenangan spesial. Ke Jakarta, kami membawa pulang pengalaman seru: di antar Si Pintar yang nyaman, menuju tempat-tempat eksotis, dan merasakan kuliner istimewa yang membuat kami rileks seharian.