Kisah Memilukan di Balik Tragedi Bom Boston Marathon

Fimela Editor diperbarui 26 Apr 2013, 04:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Tragedi memang telah berakhir, pelaku pengeboman pun telah tertangkap. Tamerlan Tsarnaev (26) tewas, sementara sang adik, Dzhokhar Tsarnaev (19), masih terbaring tak berdaya di rumah sakit akibat cedera yang dialami dalam proses penangkapannya. Namun, luka, trauma, dan dampak peristiwa yang terjadi Senin (15/04) lalu ini tak lenyap begitu saja. Cerita dari para korban yang terluka, kehilangan anggota badan, sampai harus kehilangan anggota keluarga, menambah panjang duka.

Salah satu korban tewas adalah seorang anak laki-laki bernama Martin Richard (8). Saat itu, dia tepat berada di lokasi ledakan bersama ibu dan kedua saudaranya untuk menunggu sang ayah, Bill Richard, sampai garis finish. Kehilangan Martin adalah luka terbesar Bill, apalagi istrinya, Denise, sempat dirawat intensif akibat benda tajam yang menembus otaknya. Salah satu anak perempuan Bill juga harus kehilangan kaki.

Korban tewas kedua adalah Krystle Campbell (29), warga Medford, Massachusetts. Orangtuanya, William Campbell dan Patty, langsung menuju Massachusetts General Hospital sesaat setelah kejadian. Semula Krystle dikabarkan tengah menjalani pembedahan. Selama 12 jam menunggu, yang mereka temui bukan sang anak, melainkan salah seorang temannya. Barulah, satu jam kemudian polisi datang menunjukkan foto korban tewas, yang tak lain adalah Krystle.

William mengaku sempat terpukul, apalagi Krystle yang seorang manager di sebuah restoran steak itu adalah anak kesayangannya. “Dia yang terbaik,” tambah Patty. Selasa (23/04) kemarin, Krystel akhirnya dimakamkam, dihadiri beberapa tokoh penting, seperti Gubernur Negara Bagian Massachusetts Deval Patrick dan Kardinal Boston Sean O’Malley. Sehari setelah Krystle, Martin juga dimakamkan secara tertutup.

3 dari 4 halaman

Next

Adrianne Haslet-Davis (32) adalah salah satu korban selamat. Namun, dia harus rela kehilangan kaki kiri, padahal dia bekerja sebagai instruktur tari di Arthur Murray Studio di Park Plaza. Hebatnya, bukannya putus asa dan terancam tak bisa beraktivitas seperti semula, Adrianne malah berjanji akan menari lagi setelah pulih pasca-operasi. “Ketika menari, aku tidak merasa perlu melakukan hal lain. Kebahagiaanku lengkap," katanya Minggu (20/4/2013) kemarin, "Aku tak mau membiarkan seseorang muncul dan mencuri hidupku. Jadi, aku akan menari lagi. Tahun depan, meskipun belum pernah menjadi pelari, aku akan berlari maraton.”

Di balik kisah memilukan, sepasang pelari, Robert Watling (38) dan Kelli Johnston (38), asal Dallas melangsungkan pernikahan hanya beberapa jam usai tragedi. Beruntung, keduanya yang juga menjadi peserta Boston Marathon selamat tanpa menderita luka sedikitpun. Maka, di tengah jeritan kesakitan, tangisan di mana-mana, bunyi sirene ambulans bergantian datang dan pergi, upacara pernikahan sederhana digelar di Boston Public Garden yang letaknya enam blok dari garis finish maraton. Pernikahan mereka sendiri digelar dengan tema atletik karena sama-sama mencintai olahraga.

4 dari 4 halaman

Next

Pengantin perempuan memakai gaun dari bahan yang biasa dipakai untuk pelari dan sepatu lari yang mewakili warna tim olahraga Universitas Nebraska. Sementara pengantin laki-laki memakai traxedo, setelan kostum lari yang dimodifikasi mirip tuxedo, dan sepatu yang mewakili tim hoki Universitas Virginia Tech. Bukannya tak bersimpati dengan para korban, Robert dan Kelli melanjutkan upacara juga sebagai ungkapan syukur mereka masih diberi keselamatan. “Kami hanya ingn berhati-hati, kami tak ingin apa pun menghancurkan rencana yang kami buat,” ungkap Robert. “Saat melihat ke belakang, kami akan merayakan pernikahan, tapi juga mengingat para korban dan berdoa bagi mereka,” tambah Kelli kemudian.

Boston Marathon seharusnya menjadi momen istimewa bagi sekitar 27 ribu orang yang datang hari itu, tapi berubah menjadi teror mengerikan. Kita tahu kekerasan yang digadang sebagai satu-satunya solusi bagi pihak tertentu, sama sekali bukanlah penyelesaian. Kekerasan hanya meninggalkan penderitaan jangka panjang bagi korban yang bahkan tak mengerti mengapa mereka yang terpilih sampai tiba-tiba, dalam hitungan detik, kehilangan harapan, kehilangan orang terkasih, kehilangan kehidupannya. Andai bisa, semua pasti ingin seperti Robert dan Kelli, tak mau apa pun menghancurkan masa depan mereka.