Pasangan Terlalu Dekat dengan Keluarga, Hubungan Cinta Terancam?

Fimela Editor diperbarui 03 Mei 2013, 07:59 WIB
2 dari 3 halaman

Next

Bukankah pasangan yang menyayangi keluarganya adalah dambaan perempuan mana pun? Itu awalnya. Ujungnya, perhatian yang terbagi-bagi memberikan ujian baru dalam hubungan cinta. Apalagi kalau sampai hubungan berantakan karena kedekatan tersebut.

Lebih baik tidak…

Judul di atas belum selesai.  Lebih baik tidak…kalau kamu belum siap menerima pasangan yang begitu perhatian kepada keluarganya. Apa kamu tipe yang menuntut perhatian lebih dan sering mencemburui kesibukan, keasyikan, kedekatan pasangan dengan orang di sekelilingnya? Kalau iya, laki-laki ini tak pas untukmu, karena kedekatannya dengan keluarga jelas menuntut pengertianmu saat dia lebih mementingkan urusan keluarganya daripada menemanimu hang out, misalnya. Rela?

Nike (28, ibu rumah tangga) pun sempat menganggap mantan kekasihnya adalah pasangan impian. “Aku menilai laki-laki yang menyayangi keluarga adalah laki-laki sejati, laki-laki bertanggung jawab yang juga akan memperlakukan pasangannya spesial, dan sangat mengerti apa itu arti keluarga. Itu semua benar, tapi pada praktiknya aku malah merasa sering dinomorduakan. Aku sadar aku jealous, apalagi aku selalu ingin diperhatikan. Sainganku adalah keluarga pasangan sendiri. Hal itu membuat tak nyaman,” ceritanya, “Belum lagi ketika adik-adiknya manja tak karuan, minta ini-itu, merengek diantar ke sana-kemari. Lama-lama lelah ‘direpotkan’ oleh keluarganya, padahal belum resmi menjadi istri. Nggak kebayang!”

Memahami kedekatan mereka…

Memahami berarti menerima, termasuk memaklumi. Ini yang cukup sulit dilakukan perempuan terhadap pasangan. Keegoisan membuat perempuan menuntut perhatian lebih dari pasangannya, dan membuat kedekatan pasangan dengan keluarga, terutama ibu, menjadi negatif. Faktanya, masing-masing perlu menempatkan diri di posisi yang tepat. Psikolog Endang Pudjiastuti Untung dari Universitas Islam Bandung pun mengungkapkan status mertua dan menantu setara dengan orangtua dan anak kandung, tapi secara psikologis berbeda, sehingga sangat sensitif, rentan terhadap pikiran negatif yang akhirnya membuat hubungan menjadi tak harmonis.

“Sebelum bertemu kita, pasangan sepenuhnya milik keluarga. Milik orangtua yang melahirkan, membesarkan, dan membentuknya menjadi sosok yang kita cintai sekarang. Hal itu mesti kita hargai. Ketimbang mencoba merebut perhatiannya, lebih baik ikut mencintai keluarganya dengan ikhlas. Pada saatnya nanti, kita pun akan sampai di posisi sama, melepas anak kita untuk orang lain, dan tak ingin perhatiannya untuk kita hilang sama sekali.” Betari (36, enterpreneur) berpendapat.

Lanjut Betari, “Ibuku pertama kali akan melepas abang menikah mengatakan setengah tak rela. Dia takut abangku meninggalkannya karena lebih menyayangi istri. Ketakutan ini kadang nggak disadari perempuan, juga laki-laki ketika akan ‘mengambil’ seseorang menjadi pasangannya. Semua harus balance-lah. Kita memang harus mementingkan pasangan hidup, keluarga baru yang sedang dibangun, tapi jangan menjadi ‘kacang yang lupa kulitnya’.”

What's On Fimela
3 dari 3 halaman

Next

Kedekatan berujung dominasi keluarga

“Kalau bicara tentang kedekatan pasangan dengan keluarganya, biasanya akan berpengaruh juga dalam kehidupan cinta kita. Pengalamanku, menikah dengan laki-laki yang sangat dekat dengan ibunya membuat hubungan cinta kami pun dicampuri. Kalau kami bertengkar, atau hanya masalah memilih warna cat rumah, ibunya ikut andil menasihati. Aku jadi menganggap suami kurang power, tidak bisa berdiri dengan pendiriannya, padahal posisi dia adalah kepala keluarga,” cerita Meidi (31, store manager).

Ini yang juga menimpa banyak pasangan. Merasa paling memahami anak dan lebih berpengalaman soal rumah tangga membuat orangtua “gatal” kalau tak ikut ambil peran dalam rumah tangga atau hubungan sang anak dengan pasangannya. “Menyebalkan sih, apalagi kalau kondisinya kami sedang emosi, masalah mertua menambah panas hati. Namun, komitmen mengalahkan segalanya. Aku memutuskan menerima suami, artinya juga menerima keluarganya. Kalau sudah begitu, solusinya menjauh sejenak dari mertua, mengurangi komunikasi dan kunjungan,” Meidi pun berbagi solusi.

Ibu, patokan sempurna mencari pasangan

“Saking dekatnya mereka, kadang keluar kata-kata membandingkan diriku dengan ibunya. Aku tersinggung berat,” Dessy (25, freelance writer) berbagi cerita lain. Apa kamu juga paling tidak suka dibangdingkan? Ingat kembali, apa tak pernah sekali pun kamu membandingkan pasangan dengan sosok ayah, atau saudara laki-lakimu? Mungkin, tanpa sadar kita juga kerap melakukannya, walau tak terucap.

Tak perlu kesal ketika pasangan mengungkapkan masakan ibunya lebih enak, atau ibunya lebih anggun ketimbang dirimu. Sebab, proses evolusi dan seleksi alam memprogram tiap manusia untuk mencari pasangan yang berasal dari kelompok spesies yang sama. Sosok yang paling dikenal, paling dekat dengan laki-laki biasanya adalah sosok ibu, sehingga otomatis ibulah yang menjadi patokannya mencari pasangan. “Benar, bagaimana kita menjalin hubungan dengan lawan jenis juga dipengaruhi oleh bagaimana hubungan kita dengan orangtua,” Roslina Verauli, psikolog sekaligus pengajar yang aktif mengisi bermacam talkshow ini menjelaskan saat dihubungi via telepon.

“Semua sebenarnya ada sisi positif dan negatifnya. Kalau ditanya menyesal atau tidak memiliki suami yang dekat dengan keluarga, aku sama sekali tidak menyesal walau harus bekerja ekstra keras untuk lebih sabar. Laki-laki yang dekat dan penuh perhatian pada sang ibu biasanya juga memperlakukan pasangan dengan lembut, lho. Ketika dia menemukan pasangan yang memenuhi kriteria idamannya, dan sebagian besar hal yang ada pada ibunya juga ada di dirimu, dijamin dia tak akan melepasmu. Ini kualami sendiri,” tutup Meidi.

Semua ada sisi positif dan negatifnya. Itulah hubungan cinta, butuh pengertian, penerimaan, untuk mendapatkan akhir yang bahagia. Bagaimana denganmu, siap mendambakan pasangan seperti di atas, apa iya, siap juga berkorban demi yang kamu cintai? Pikir-pikir lagi, deh.