Praktik Sunat Perempuan: Demi Kesehatan Atau Pelanggaran HAM?

Fimela Editor diperbarui 02 Apr 2013, 03:59 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Walaupun sunat erat kaitannya dengan kebudayaan dan ritual agama tertentu, namun sunat pada lelaki sudah cukup lazim ditemukan, bukan hanya di wilayah Timur tetapi juga di negara Barat. Laki-laki dan sunat, rasanya dua hal yang sudah nggak asing lagi. Sekalipun masih cukup banyak pertentangan, namun sunat pada lelaki sudah menjadi satu hal yang lazim dilakukan. Sunat pada laki-laki dipercaya bisa mengurangi kemungkinan terjangkitnya penyakit seksual.

Di wilayah Timur, Indonesia, Afrika, dan beberapa negara Timur Tengah, sunat tidak hanya dilakukan pada laki-laki, tetapi juga pada perempuan. Sunat perempuan ini kemudian menjadi buah bibir kembali di kalangan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia melakukan sunat perempuan mengacu pada aturan agama Islam yang menyatakan perempuan disunahkan untuk disunat.

What's On Fimela
3 dari 4 halaman

Next

Menanggapi kontroversi di masyarakat tentang sunat perempuan, akhirnya pada tahun 2010 Kementrian Kesehatan Republik Indonesia mengeluarkan peraturan tertulis mengenai sunat perempuan lewat Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 1636/MENKES/PER/XI/2010. Peraturan tersebut mengatur tentang tata cara pelaksanaan sunat pada perempuan untuk memastikan perempuan tidak berada di pihak yang dirugikan atas praktik ini.

Seorang dokter spesialis kulit dari Fakultas Kedokteran Al-Azhar Mesir, Prof. DR. Muhammad Hasan al-Hany dan Prof. DR. Shadiq Muhammad mengatakan sunat perempuan dilakukan untuk menjaga dan memelihara kemuliaan perempuan dengan memotong sedikit kulit colum yang menutupi klitoris agar memperoleh kepuasan dalam hubungan seks. Sedangkan DR. Ali Akbar dan Prof. DR. Hinselman berpendapat bahwa perempuan yang tidak disunat bisa menimbulkan penyakit bagi pasangan mereka ketika bersetubuh.

4 dari 4 halaman

Next

Sunat perempuan ada berbagai macam, ada yang hanya membuat goresan kecil pada daging yang menutupi klitoris namun ada juga yang melakukan sunat ekstrim dengan membuang seluruh klitoris dan juga kedua bibir vagina. Cara sunat dengan membuat goresan kecil tanpa melukai klitoris merupakan cara yang dianjurkan oleh Depkes dalam menyelenggarakan sunat perempuan. Dan tentunya hal-hal teknis lain terkait dengan profesionalitas dokter dan kebersihan ruangan serta peralatan pun diatur dalam peraturan tersebut.

Beberapa organisasi perempuan pun memandang praktik sunat perempuan sebagai suatu tindakan yang melanggar HAM. Pasalnya, di negaral-negara Afrika, sunat perempuan dilakukan secara berlebihan dengan mengangkat seluruh klitoris dan kedua bibir vagina. Selain itu, ada juga yang memperkecil lubang vagina dengan dijahit karena perempuan dengan vagina yang tidak dijahit dianggap bisa menyebarkan penyakit.

Majelis Ulama Indonesia menolak keras jika nantinya ada peraturan yang melarang praktik sunat perempuan karena menurut MUI sunat berhubungan dengan agama Islam dan bisa menyelamatkan perempuan karena dinilai bisa mengurangi tingkat libido perempuan yang tinggi. Dan MUI berpendapat bahwa Permenkes tahun 2010 sudah cukup mengakomodasi kebebasan rakyat dalam menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran agama masing-masing sesuai dengan UUD 1945.

World Health Organization (WHO) menyamakan praktik yang sering disebut dengan istilah mutilasi perempuan ini dengan tindakan KDRT dan trafficking. Karena WHO menilai praktik sunat sangat merugikan bagi perempuan, mulai dari menyebabkan perdarahan hebat usai disunat, trauma, bahkan hingga kematian. Padahal, jika sunat memang dilakukan berdasarkan perintah agama, sunat tentunya tidak dilakukan secara berlebihan hingga menimbulkan dampak menyakitkan pada perempuan.

Sebagai perempuan, apakah kamu setuju dengan praktik sunat perempuan yang masih menjadi perdebatan hingga sekarang?