Next
Bunga Mega (Founder Cewe Quat), Melanie Subono (Musisi, Aktivis), Rika Nosvianti Neqy (Pemerhati persoalan Perempuan terutama Seksualitas), dan Hannah Al Rashid (Brand Ambassador www. Guetau.com) pun berbagi pengalaman dalam sesi sharing kekerasan dalam hubungan, “Cilukba—Cinta: Luka atau Bahagia?”. Acara ini diadakan oleh Youth Rights Festival, KontraS, dan Guetau.com di Coffeewar Kemang, awal Maret lalu.
Rika memulai obrolan dengan membuka fakta bahwa kekerasan tak hanya terjadi dalam ranah fisik, verbal, maupun seksual, tapi juga menginjak ranah ekonomi. Saya jadi ingat, sahabat saya pernah menjalin hubungan dengan seorang laki-laki yang bergantung secara finansial kepada dirinya. Ketika itu saya sama sekali tak berpikir momen ini sebagai bagian dari kekerasan, hanya saja “cukup mengganggu”. Dan tak wajar. “Aku bekerja paruh waktu dan melakukan apa pun yang bisa menghasilkan uang untuk kami berdua. Dia memang tak meminta secara langsung, tapi semua terjadi karena mulanya tak tega melihatnya susah, sampai akhirnya dia ketagihan menerima tanpa usaha. Kami putus setelah selama 5 tahun bersama. Akhirnya aku sampai di titik jenuh melihat sikapnya yang tak mandiri,” kenang sahabat saya itu.
What's On Fimela
powered by
Next
Tak sadar telah mengalami kekerasan juga dialami Hannah. “Aku termasuk orang yang kurang mengerti tentang kekerasan dalam hubungan, dan baru sadar juga sempat mengalaminya. Aku pernah cukup lama berada dalam hubungan yang tidak menyenangkan dan membiarkan itu terjadi karena rasa sayang. Aku sebenarnya orang yang selalu berpikir positif, tapi aku justru terjebak dalam hubungan yang bisa membuatku berpikir negatif tentang diriku sendiri, seperti selalu aku yang bodoh dan jahat saat hubungan kami mengalami masalah. Aku juga sempat diminta berhenti bergaul oleh pasanganku, padahal aku orang yang sangat suka berinteraksi dengan banyak orang. Pernah juga aku mendapat perkataan tak pantas, atau dia meninggalkan bekas memar ditubuh sampai kekerasan seksual. Tak hanya diam, aku menolak diperlakukan buruk ketika itu, tapi akhirnya selalu termakan janji-janjinya untuk berubah. Terus terjadi, terjadi, dan terjadi lagi,” aku Hannah.
Ini membuktikan banyak dari kita yang sekadar mengetahui apa itu kekerasan tanpa benar-benar peduli, sehingga amat mudah terjebak di dalamnya. “Saya juga pernah mengalami kekerasan fisik semasa berpacaran, tapi karena saya sudah mengerti bahwa itu salah maka saya tak membuka kesempatan kedua, apalagi ketiga. Ketika dia menyakiti saya, ya harus saya akhiri. Sementara, banyak perempuan yang tak tega mengakhiri hubungan. Perempuan memiliki sifat dasar memelihara, merawat, sehingga ketika ada hal yang menyakitkan terjadi, kita cenderung masih memiliki harapan akan adanya perubahan, kesadaran dari pelaku. Padahal, tak menutup kemungkinan pesan yang sampai ke pelaku justru sebaliknya: kita menerima dan diam diperlakukan kasar, sehingga hal itu akan berulang,” Mega angkat bicara.
“Sebenarnya, sebuah hubungan berjalan di luar prinsip, di luar hal yang kita mau semata-mata karena kita sendiri yang memberikan kesempatan hal itu terjadi,” sambung Mega. Dia pun menambahkan, kekerasan juga bisa menimpa mimpi kita sendiri, misalnya ketika kita dilarang mengikuti kegiatan yang kita sukai atau melakukan apa pun yang berhubungan dengan masa depan. Sarannya, “Jangan pernah takut kehilangan seseorang, tapi takutlah kehilangan impian.” Artinya, dengan siapa pun kita berhubungan, harus yang membuat dan menerima kita utuh. Apa adanya.
Next
Kekerasan bukan bagian dari percintaan. Itu poin penting yang harus kita ingat. Cinta sama sekali tak mengenal kekerasan, luka, ataupun pemaksaan kehendak. Cinta idealnya menghadirkan keamanan dan kenyamanan. Sementara kekerasan, menurut Rika, biasanya untuk menunjukkan bahwa seseorang memiliki kekuasaan dan kontrol terhadap orang lain. “Waspada jika kamu mengalami beberapa, bahkan satu saja dari ciri berikut, itu artinya kamu sudah masuk sebagai pelaku atau korban kekerasan: ada paksaan, tidak dikehendaki salah satu pihak, hanya menguntungkan satu pihak, dan bertujuan mendapatkan kembali,” papar Rika, “dan benar, korban justru akan melakukan pembelaan atau memilih bertahan dengan dalih mampu mengubah pasangan.”
Pernah menjadi korban atau saat ini sedang menyaksikan orang terdekat menjadi korban? Mega mengaku selama ini kerap melihat banyak perempuan mengalami kekerasan karena kurangnya rasa percaya diri sehingga memilih berada di bawah kontrol orang lain. Itulah yang kemudian menjadi salah satu alasannya mendirikan komunitas CeweQuat, agar perempuan memiliki pengetahuan dan kepercayaan diri atas potensi yang mereka miliki. “Perempuan harus berani melangkah sebagai dirinya sendiri tanpa perlu merasa ‘rendah’,” ujarnya. Bagi Mega, kepercayaan diri membantu perempuan agar mampu mengambil sikap dan tak bergantung kepada siapa pun.
Bicara soal orang-orang terdekat yang menjadi korban, memang kita tak bisa tinggal diam. Begitupun orang-orang yang di sekeliling kita, pasti tak akan tinggal diam ketika melihat kita mendapat perlakuan tak baik. Namun, semua akhirnya kembali ke diri sendiri. “Pada akhirnya tetap butuh kesadaran dari si korban sendiri. Lebih baik seseorang mengambil keputusan karena dirinya sendiri, bukan karena pengaruh dari orang lain,” Melanie berpendapat. “Kita bisa memberi informasi dan mendengarkan mereka bercerita, tetapi kita tidak bisa memaksa, apalagi menghakimi. Yang penting kita sudah menyediakan informasi dan memberikan dia beberapa opsi,” Rika menambahkan.
Melanie Subono sendiri mengamati perempuan justru betah diperlakukan buruk, sehingga kesulitan keluar dari situasi tersebut. Yap, it’s hard to look for the light when your lost in darkness. Paparnya menutup sesi sharing, “Kadang-kadang perempuan menikmati perasaan 'berkorban' dan menunjukkan kerentanannya sendiri. Jadi, kuncinya apakah kita mau diperlakukan seperti itu atau tidak.” Tidak ada satu pun orang yang layak diperlakukan kasar. Kedudukan kita sebagai makhluk individu maupun sosial pun sama, tak ada pula yang di atas dan di bawah, yang berhak mendominasi dan didominasi. Seimbang. Pahami itu.