Terapkan Hukum Syariah, Kasus Asusila di Aceh Justru Meningkat?

Fimela Editor diperbarui 13 Mar 2013, 11:29 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Sejak tahun 2001, berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darusalam, Aceh diperkenankan untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh. Sejak dikeluarkannya undang-undang tersebut maka mulai bermunculanlah berbagai produk hukum syariah. Qanun Nomor 11 Tahun 2002 merupakan hukum syariah pertama yang tercetus dan berisi tentang pelaksanaan syariat bidang aqidah, ibadah, dan syariat Islam. Kemudian pada tahun 2003, muncul Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang larangan maisyir (perjudian), Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang  larangan khalwat (perbuatan mesum), serta Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan zakat.

Tak tanggung-tanggung, para pelanggar hukum Qanun ini dikenakan hukum cambuk di depan umum. Untuk memastikan hukum Qanun berjalan sebagaimana mustinya, Pemerintah Daerah Aceh pun membentuk Polisi Syariah atau yang biasa dikenal dengan Wilayatul Hisbah (WH). Namun sayang, sepertinya aparat penegak hukum dan masyarakat tampak belum siap dalam menjalankan hukum Qanun sehingga membuat penerapan hukum syariat Islam tampak berlebihan dan justru malah merugikan, khususnya para perempuan.

3 dari 4 halaman

Next

Pada tahun 2012, hukum Qanun di Aceh merenggut nyawa seorang anak perempuan berusia 16 tahun yang tewas bunuh diri. Adalah Putri Erlina yang berasal Desa Aramiah yang tewas bunuh diri karena sebelumnya ditangkap Polisi Syariah akibat berada di luar rumah saat larut malam. Putri ditangkap, diceramahi di depan umum, dan dituduh pelacur. Padahal berdasarkan penyelidikan, tuduhan yang ditujukan kepada Putri sama sekali tidak terbukti. Dan pemberitaan media Aceh yang menyudutkannya, rupanya membuat Putri cukup tertekan hingga memutuskan bunuh diri.

Penerapan hukum Qanun di Aceh yang diharapkan dapat menekan kasus kriminal dan pornoaksi, rupanya justru malah tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pada tahun 2012, seperti yang tertulis pada rakyataceh.com pada 28 Januari 2013, Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Takengon, Roch Adi Wibowo, SH, MH, mengatakan bahwa kasus yang mendominasi di sana adalah kasus pelecehan seksual. Selain itu, menurut Dahlia selaku Ketua Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, penerapan hukum Qanun di Aceh malah membuat kasus perselingkuhan meningkat. Perselingkuhan banyak terjadi antara perempuan yang sudah menikah dengan lelaki yang lebih muda dari mereka.

4 dari 4 halaman

Next

Penerapan hukum Qanun dan difungsikannya Polisi Syariah belum mengurangi kasus pelecehan seksual maupun perselingkuhan. Adanya Polisi Syariah tidak menjamin berkurangnya perilaku asusila di masyarakat. Mungkin “pihak berwajib” di Aceh bisa mengurangi tindakan asusila di depan umum, tapi siapa yang bisa menjamin masyarakat tidak melakukan perbuatan tersebut secara tertutup.

Bahkan, penerapan hukum Qanun pun diprotes oleh masyarakat Aceh sendiri. Penerapan hukum Qanun dinilai hanya menyentuh masyarakat bawah, sementara para pejabat yang melakukan pelanggaran masih belum tersentuh hukum. Hal ini pun dibenarkan oleh Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf, seperti yang tertulis dalam pemerintah.atjehpost.com pada 16 Desember 2012, “Penerapan hukum syariat selama ini masih untuk masyarakat menengah ke bawah. Sedangkan untuk masyarakat  menengah ke atas belum pernah terjadi.” Tentu penerapan hukum Qanun yang adil dan merata dinantikan oleh semua masyarakat Aceh.