Next
Kehidupan cinta sang pramugari
Cita-cita menjadi pramugari bukan sesuatu yang saya tulis di diary ketika saya lecil. Awalnya saya bergabung dan memberanikan diri untuk bekerja di sebuah maskapai penerbangan, karena saya ingin memoles bahasa asing saya, dimana menurut saya cara terbaiknya adalah dengan bekerja melihat dunia luar, yang tak lain adalah menjadi pramugari. Dari target awal hanya mau coba-coba dan tak bertahan lama, ternyata karier ini berlangsung sampai sekarang. Sampai saya telah memomong seorang laki-laki kecil yang tampan hasil pernikahan saya dengan seorang engineer dari sebuah maskapai. Sepenggal kisah yang saya ceritakan ini adalah cerita tentang seorang pramugari yang sangat mencintai kebebasan dan masih sangat ingin bisa terbang bebas melihat dunia luar, namun akhirnya mendarat di tempat paling indah bernama keluarga, yang terdiri dari seorang suami dan seorang anak. And, here the the story goes…
Di bandara, cinta kami terjalin...
Pekerjaan saya sebagai personnel navigation commercial atau yang umum dikenal sebagai pramugari sebuah maskapai internasional, tak disangka mempertemukan saya dengan Banipal Bet Warda, laki-laki keturunan Iran, Jerman, dan Rusia, yang diperkenalkan oleh rekan kerja saya. Awal perkenalan itu awalnya dimaksudkan rekan kerja agar Ben bisa menjadi kenalan saya ketika sedang berada di Dubai, karena rekan kerja tahu saya tak kenal siapa-siapa di negara tersebut. Awalnya saya menolak, karena sebenarnya saya pun tak berminat untuk jalan-jalan ketika berhenti di Dubai, biasanya waktu saya habiskan hanya untuk beristirahat. Singkat cerita, kami berkenalan pertama kali di Facebook, lalu banyak berkomunikasi dan pertama kali bertatap muka via Skype, karena lucunya setelah kami berkenalan saya malah tak lagi mendapat rute terbang ke Dubai, dan membuat kami tak jadi-jadi untuk bisa bertemu langsung. Akhirnya, beberapa bulan kemudian, tepatnya pada April 2011, kami akhirnya bertemu empat mata pertama kali di LAX Airport, Los Angeles, dimana ia menyambutnya dengan sebuket bunga, sementara saya dengan penampilan setelah terbang 16 jam.
Pertemuan itu lalu berlanjut ke peningkatan hubungan menjadi sepasang kekasih. Sudah berkomitmen untuk berpacaran, bukan berarti hubungan kami berjalan dengan indahnya. Entah sudah berapa puluh kali saya mengucapkan kalimat perpisahan dan berniat meninggalkannya. Banyak saja penyebabnya, tapi masalah utamanya adalah waktu. Saya bekerja mengelilingi dunia, dia punya jadwal pekerjaan ala maskapai yang tak kenal pagi atau malam, sehingga kami berdua harus berjuang serta berkomitmen untuk menetapkan jadwal bila memang ingin bertemu. Jadwal kerja saya memang fleksibel, karena rute penerbangan sudah saya ketahui sebulan sebelumnya. Kemungkinan untuk bertukar jadwal dengan rekan lainnya agar bisa menyamakan hari libur saya dengan Ben pun bisa, namun itu bukan hal yang mudah. Biasanya, bila kami ingin bertemu, kami harus tentukan dulu dimana kami akan bertemu, apakah di Dubai tempat tinggal bekerjanya, atau di Los Angeles, tempat asalnya, atau bisa juga di Hongkong yang jadi domisili saya. Bila meeting point sudah dapat, baru kami mengurus dokumen yang diperlukan, seperti Ben harus menyiapkan visa Dubai untuk saya bila kami merencanakan bertemu di sana. Itu baru sebagian kecil “drama” untuk bertemu, belum ditambah dengan jadwal panggilan kerja Ben yang mendadak, sehingga bisa buyar persiapan matang kami untuk bertemu. Itu sebabnya, emosi akan cepat sekali tersulut, karena tekanan kerja kami berdua sangatlah tinggi. Bisa dibilang, selama setahun kami berpacaran, kami lebih banyak berjauhan dan kalau mau bertemu usahanya harus sangat gigih. Tak sesederhana berteleponan dan janjian ketemu di mall untuk nonton di bioskop seperti pasangan pada umumnya.
Next
We are the luckiest people in the world
Jatuh bangun mempertahankan hubungan ini, akhirnya kami bisa sampai juga di tahap yang paling membahagiakan, yaitu pernikahan. Di suatu malam di bulan Januari 2012, Ben menyiapkan sebuah lamaran kejuatan untuk saya. Dia menyiapkan makan malam romantis di restoran favorit kami di Dubai, lalu memperkenalkan pada chef restoran tersebut, dimana pada saat itu semua orang di restoran sudah tahu rencana rahasianya untuk melamar saya. Setelah itu, dia memberikan cake berbentuk hati dengan warna merah favorit saya, lalu menyuruh saya untuk merusak kue itu karena persis di tengah-tengah kue itu ada sesuatu. Ternyata, itu adalah cincin berlian sebagai tanda ia melamar saya. Selang lima bulan dari pertunangan, kami menikah di Surabaya, kota asal dan tempat tinggal saya, dan sangat bahagia hingga sekarang dengan karunia seorang putra kecil bernama Brady.
Menilik ke belakang cerita cinta kami, yang berawal dari casual meeting di bandara, berbagai sesi pertengkaran di bandara, lalu berbaikan lagi di tempat yang sama, hingga berakhir di sebuah rumah dengan kehangatan cinta seorang suami istri, sungguh tak menyangka kalau satu tempat bisa memiliki makna yang begitu dalam untuk kami. Memang cerita kami bukan kisah cinta paling indah yang pernah ada, namun perjuangan, keras kepala, dan masa-masa nyaris menyerah yang pernah kami lewati, sungguh sepadan dengan apa yang kami miliki sekarang. Cinta mengalahkan segalanya, bahkan jarak ribuan kilometer yang sempat memisahkan dan membuat kami susah untuk bertatap muka. Tempat paling memorable untuk hubungan kami, sudah pasti bandara, karena kami adalah dua orang paling beruntung yang menemukan our other half di tempat seramai bandara.