Next
Di akhir tahun lalu, kami duduk berhadapan dengan Luna Maya, Sigi Wimala, dan Ilya Signa tentang proyek film pertama mereka. “Pintu Harmonika”, yang menjadi judul film besutan ketiga perempuan tersebut. Konsep cerita film tiga genre tersebut merupakan kreasi seorang penulis senior, Clara Ng. Di awal tahun ini, kami mendapat kabar bahwa bukan hanya film, judul tersebut juga akan diwujudkan menjadi sebuah novel. Mendengar kabar kalau jalan cerita antara versi film dan novel sangat berbeda, kami beruntung bisa langsung mendengar cerita dari kedua penulisnya.
Kami menulis demi orang lain
Clara: Penggarapan novel “Pintu Harmonika” ini sebenarnya tak direncanakan. Setelah membuat konsep cerita untuk filmnya, saya diminta penerbit untuk menjadikannya ke bentuk buku. Saya iyakan dengan niat dasar yaitu ingin menyajikan bacaan untuk usia tanggung atau young adults, yaitu 9-12 tahun, yang bila diperhatikan di Indonesia sangat jarang dan nyaris tak ada. Genre ini kurang diperhatikan sehingga usia tanggung ini menghadapi gap pada konteks bacaan bermutu. Mereka tak lagi pantas membaca buku anak-anak, tapi juga belum saatnya membaca teenlit. Setelah niat membukukan ada, saya perlu mengajak rekan penulis untuk mendampingi. Selain karena saya tak mungkin menggarapnya sendiri akibat kesibukan, saya juga ingin membedakan cerita versi film dan buku. Dan, Icha adalah orang yang sangat tepat untuk diajak karena saya menemukan chemistry yang nggak didapatkan dari penulis lain.
Icha: Tadinya saya sempat menolak karena tak tertarik menulis buku yang diangkat dari film. Jujur, kualitas film Indonesia sedikit mengecewakan saya. Tapi, setelah tahu kalau akan berpasangan dengan Clara Ng, yang di mata saya adalah penulis bereputasi bagus, saya langsung mau. Niat awalnya ikut menulis “Pintu Harmonika” ini sama dengan Clara, yaitu miris dengan keadaan young adults sekarang yang kekurangan bacaan. Padahal, di masa saya dulu, saya melewati masa-masa tanggung itu dengan bacaan Lima Sekawan yang menghibur dan mendidik.
Next
Clara: Cara untuk membedakan antara buku dan film, selain mengajak Icha sebagai rekan penulis yang mengembangkan cerita di atas ekpektasi saya, kami juga memberikan main story yang berbeda dibanding film. Konsep penceritaan tetap sama dengan film, yaitu ada tiga genre dalam satu media, dimana dalam buku ini ada genre drama, komedi, dan horor. Namun yang pasti, pembaca dan penonton film di judul yang sama, akan mendapatkan sesuatu yang lain, dimana menurut saya ini bagus, karena saya pribadi bukan ingin membukukan konsep cerita yang telah difilmkan.
Icha: Bisa dibilang, ini adalah kontribusi kami untuk memberikan bacaan yang bisa dinikmati oleh usia yang terlupakan itu. Terbiasa menulis cerita percintaan orang dewasa, ternyata seru dan menyenangkan juga kok menulis drama keluarga.
Clara: Ini juga menyenangkan untuk saya karena menjadi pengalaman baru. Saya sebelumnya menulis buku anak-anak bergambar dan ditujukan untuk usia 8 tahun ke bawah. Kesempatan ini saya pergunakan untuk mengisi kekosongan cerita anak di usia tersebut. Semoga apa yang kami kerjakan ini bisa dinikmati dan berguna. Bisa menghibur seperti “Laskar Pelangi” atau “Harry Potter” yang semakin jarang digarap penulis, padahal itu cocok untuk dibaca oleh young adults hingga dewasa.
Next
Hidup perempuan tak akan akan sama lagi setelah memiliki anak
Icha: Sebelum menggarap “Pintu Harmonika”, saya sudah punya rencana untuk membuat novel bertema keluarga, tapi hingga kini belum terealisasikan. Ritme kerja saya tidak seperti dulu lagi. Biasanya, ketika draft sudah selesai, saya bisa langsung menulis ulang hingga menjadi novel sempurna. Yang terjadi sekarang adalah, untuk proses rewrite itu saya kesulitan untuk konsisten, karena sudah memiliki ritme berbeda setelah memiliki anak. Mengasuh anak tanpa support system dan diselingi bekerja itu memang bisa, tapi jujur susah sekali. Nilai plusnya adalah sekarang ada teknologi yang memungkinkan saya untuk curi-curi waktu bekerja. Di saat anak tidur atau berada di transportasi umum, saya bisa menyicil mengetik di tablet, tak perlu repot membawa perlengkapan berat semacam laptop atau diam di PC.
Clara: Saya tak jauh berbeda dengan Icha. Walaupun anak saya sudah besar, tapi tetap saja saya harus melewati pengorbanan yang terkadang membuat hati perih. Harus diakui, ada dua bidang yang saya jalani, yaitu keluarga dan pekerjaan, dan mengorbankan yang mana pun, akan terasa perih. Yang membuat keduanya bisa saya jalani adalah maklumnya anak saya dengan kesibukan ibunya. Menurut saya, ini jauh lebih baik ketimbang saya nggak bisa memaklumi dan memaafkan apa yang saya korbankan untuk salah satu hal. Lebih baik saya dimarahi anak daripada saya memarahi diri sendiri, karena saya cenderung lebih keras ketika menghukum diri sendiri bila merasa bersalah. Terlepas dari itu, untunglah saya memiliki pekerjaan yang menyenangkan karena tak dibatasi dengan jam kerja. Saya bisa menulis kapan saja dan menentukan deadline sesuai kemampuan saya. Sekarang tinggal tergantung bagaimana saya mengatur diri saya untuk menjaga pekerjaan ini tetap berjalan dengan baik dan seimbang.
Icha: Ya, ya, ya, saya paham benar yang Clara bilang tentang penyesalan itu. Terkadang saya sebagai ibu juga pernah khilaf “mengorbankan” anak saya demi pekerjaan, dan disesali belakangan. I wish I could take it back, tapi nggak bisa, dan itu sangat menyesakkan. Merasakan bagaimana juggling mengurus anak dan bekerja secara lepas, terkadang membuat saya berpikir kalau mungkin semuanya jauh lebih mudah ketika saya bekerja kantoran, karena waktu dan tempatnya jelas. Saya di kantor untuk bekerja, di rumah untuk anak. Tapi, tak ada gunanya juga mengeluh, karena setiap pilihan ada risikonya. Saya bersyukur saja sekarang harus mencuri waktu dulu supaya bisa bekerja, namun juga tak kehilangan momen tidur siang dengan anak saya. Ya, hidup memang tak akan sama lagi ketika sudah berkeluarga dan memiliki anak.