Dilema Memilih Masa Lalu dan Cinta Baru

Fimela Editor diperbarui 04 Feb 2013, 11:00 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Membaca Fade Series karya Kate Dawes, kamu akan menemukan dominasi masa lalu dalam kehidupan Olivia Rowland. Bagaimana sang mantan yang berusaha memasuki hidup baru Olivia, membuat luka lama yang tersimpan rapat kembali terkuak dan mengganggu kehidupan cinta Olivia bersama Max Dalton, masa depannya. Olivia sejak semula enggan membawa masa lalu yang baginya terlalu menyakitkan. Pengkhianatan dan perasaan tak dihargai menjadi alasan terkuatnya untuk melupakan mantan kekasih. Namun, sang mantan malah terus menghampirinya dan tak rela Olivia menjadi milik orang lain.

Cerita Olivia memang hanyalah kisah fiksi. Sementara kita, para pemilik realitas, terkadang (sengaja) tak melepaskan masa lalu karena terlalu sayang kalau harus kehilangan kenangan (yang konon berharga) itu. Logikanya, Olivia yang berusaha menatap masa depan masih bisa terperangkap, apalagi kita yang dengan rela membiarkan kenangan itu tinggal?

What's On Fimela
3 dari 4 halaman

Next

Beberapa Fimelova—dalam artikel “Punya Pacar, tapi Masih Ingat Mantan?”—pernah mengaku masih menyimpan ingatan dari masa lalu, tapi sekadar sebagai wacana, tolok ukur pasangan sekarang, sampai iseng belaka, tanpa niatan untuk kembali ke masa itu. Walaupun diakui mengingat masa lalu sering membuat perasaan campur-aduk beberapa saat. “Mungkin karena kehidupanku sekarang sudah lebih baik daripada kehidupan dulu. Beda soal kalau hidup yang sekarang tak memberi kesejahteraan, masa lalu bisa kembali menjadi alternatif untuk meraih kebahagiaan,” kata Sheilavita (25, HRD staff).

Namun, Naida (25, konsultan finansial) lebih dari sekadar mengingat masa lalu. Dia masih berhubungan dengan mantan kekasihnya sampai saat ini, padahal sudah memiliki calon suami yang bisa dibilang lebih baik dalam segala hal dari sang mantan. Sesekali, Naida diam-diam menemui mantan kekasihnya, sekadar untuk menghabiskan waktu bersama. “Jujur aku bingung, tak pernah tega menolak ajakannya bertemu. Dengan calon suamiku ini semua memang serbalancar, tapi aku merasa dia terlalu baik untukku. Aku justru merasa tak pantas bersamanya yang terlalu sempurna, berbeda dengan mantan yang pas dalam segala hal, tapi sayangnya hubungan kami tak direstui,” kata Naida.

Naida mengaku, kalau diminta memilih dia pun bimbang siapa di antara dua laki-laki dalam hidupnya itu yang lebih dia cintai. Masa lalu masih begitu berarti untuk dirinya, sementara masa sekarang dengan segala yang menjanjikan—cinta dan masa depan—sudah tersedia di depan mata. Apa benar kata Sheilavita, masa lalu bisa menjadi alternatif untuk meraih kebahagiaan ketika masa sekarang tak bisa memenuhi yang dicari?

4 dari 4 halaman

Next

“Seseorang dengan emosi yang sehat akan mampu mencintai dan mempertahankan cintanya. Namun, tak semua orang punya emosi yang sehat. Ada yang tak paham sebenarnya apa yang dia rasakan terhadap seseorang, sehingga dia akan mulai galau. Kebingungan itu membuatnya lantas mencari kenyamanan dari laki-laki lain, termasuk yang pernah ada di masa lalu. Ini karena cinta merupakan emosi yang sangat besar, yang bisa sampai membangkitkan emosi dari masa lalu,” Roslina Verauli, psikolog yang aktif mengisi bermacam talkshow ini menjelaskannya.

Menilik kembali masa lalu ternyata bukan penyelesaian, melainkan hanyalah pelarian dari apa yang kita tak yakini di kehidupan sekarang. Budaya modern mengajak orang mempercayai cinta, tapi di lain pihak ada ketakutan untuk benar-benar mempercayainya. Keadaan ini oleh Arlie Russell Hochschild dalam bukunya, The Second Shift: Working Parents and the Revolution at Home, disebut sebagai paradox of love.

Bisa jadi, Naida adalah salah satu yang merasakan fenomena ini. Dia—dan mungkin juga kita—bebas mencintai orang lain dengan cara masing-masing, mempercayai adanya cinta, tapi dalam satu waktu khawatir karena cinta mudah pupus, lalu berganti dengan cinta baru. Ketidakyakinan pada pasangan sekarang diakibatkan pengalaman masa lalu tentang cinta yang terlalu mudah kandas. Ketakutan di masa sekarang akan gagal lagi karena ketidaksempurnaan diri sendiri dan pasangan, membuat Naida—dan mungkin juga kita—lebih memilih masa lalu yang sudah lebih dikenal ketimbang bertahan dengan cinta baru yang belum tentu berakhir manis. Cinta memang sebuah paradoks.

Belajar dari Naida, pada akhirnya hanya satu bisa dijawab oleh hati: mengapa kita bisa jatuh cinta? Apa yang membuat kita memutuskan melangkah lebih jauh, berkomitmen serius, dengan pasangan sekarang? Tentu karena ada daya tarik yang begitu besar dari dirinya. Ingat sejenak kalau pada suatu waktu kita pernah benar-benar yakin dialah si cinta terakhir. Belum yakin? Coba ingat kembali hubungan yang pernah terjalin dengan orang di masa lalu dan apa yang membuat kita tak bisa bersatu dengannya. That’s the point. Sudah ada masa depan yang menanti, apa masih ada untungnya membiarkan masa lalu selamanya menjadi parasit dalam hidup kita? Untuk yang ini, cukup jawab dalam hati.