Next
Mengambil sepenggal cerita dari ‘perjalanan Rama’ atau yang kita kenal sebagai Ramayana, dikisahkan bahwa Sinta diculik oleh Rahwana dari kekasihnya, yaitu Rama. Rahwana yang berhasil ‘menodai’ Sinta, kemudian terlibat dalam pertarungan sengit dengan Rama yang marah besar dibuatnya. Diadaptasi dari kisah tersebut, ketiga koreografer menampilkannya dengan gaya masing-masing yang berbeda.
Sophiline yang berasal dari Kamboja mendapat giliran pertama. Dengan menampilkan sedikit percakapan layaknya sebuah drama, terjadilah dialog antara Pream Ram (Rama), Neang Seda (Sinta), dan juga Rahwana. Jika karya Kamboja biasanya didominasi oleh musik, Sophiline memasukkan sedikit unsur teater drama. Ia juga lebih senang menggambarkan dialog-dialognya secara datar, bukan secara puitis. “Untuk pemilihan warna abu-abu untuk kostum para penari, saya terinspirasi dari pekerja kantoran di Kamboja,” ujarnya.
Aspek lainnya adalah dengan memanfaatkan bantuan cahaya. Koreografer Kamboja ini juga mengatur pose simetris ke dalam tarian Rahwana dan para raksasa lainnya. Ini dikondisikan agar setiap penari tidak bergerak sendiri dalam tarian masing-masing, tetapi mereka bergerak dalam satu rangkaian secara bersamaan. Soal api sebagai tema utama, tergambar jelas dari makeup merah yang digunakan oleh para raksasa. Dalam kisah ini juga Sophiline mengintepretasikan api sebagai luapan kemarahan Rama kepada Rahwana. Tergambarkan dari tarian pertempuran oleh keduanya yang berakhir dengan kematian Rahwana, sang raksasa. Gerakan indah dari tarian tersebut dapat menggugah emosimu ketika menyaksikannya.
Next
Berbeda dengan tarian milik Pichet Klunchun asal Thailand, ia sama sekali tidak menggunakan dialog untuk merepresentasikan karyanya. Tarian ini diawali dengan berjejernya para penari termasuk Pichet sendiri, yang kemudian bergerak bebas mengikuti alunan musik. Kemudian diakhiri dengan para penari mengelilingi Pichet yang menjadi pusat perhatian mereka. Walaupun tidak secara langsung menampilkan ketiga tokoh utama kisah ini, namun ia menggambarkan api sebagai sesuatu yang ada di dalam diri setiap orang ketika tertimpa suatu masalah. Dalam pertunjukan ini, ada api dalam jiwa Sinta karena perbuatan yang telah dilakukan Rahwana kepadanya. “Yang terbakar bukan tubuhnya, melainkan sesuatu dalam dirinya,” jelas Pichet.
Koreografer yang pernah tampil di penutupan Asia Games tahun 1998 ini, mengaku bahwa ia sangat terinspirasi oleh pertunjukan balet klasik, ‘The Rite Of Spring’. Fakta bahwa pertunjukan ini pada awalnya tidak dihargai, mengingatkan Pichet kepada perjalanan hidupnya sebagai seorang penari. Kemampuan dan visinya sempat diragukan dalam dunia tari. Selain itu, ia juga sangat kagum kepada Vaslav Nijinsky, koreografer The Rite Of Spring tersebut. “Orang Rusia saja terinspirasi oleh Asia,” ujar Pichet. Dengan keadaan saat ini, masyarakat Asia justru memandang budaya Barat sebagai ‘kiblat’ mereka. Faktor inilah yang memotivasi Pichet untuk ikut dalam pertunjukan ini, agar dapat membantu membudidayakan tarian Asia.
Next
Adanya isu terkait dengan keperawanan dan loyalitas, merupakan sisi kemanusiaan yang ia angkat dari Ramayana. Dengan menghindari penyampaian secara naratif, Eko menampilkan sebuah koreografer tarian yang mempertanyakan kembali kedua aspek tersebut kepada penonton. Layaknya kobaran api yang membara, para penari menyampaikan gerakan yang sangat bersemangat dan meluap-luap. Konfrontasi, merupakan kata deskriptif yang ingin ia sampaikan melalui tariannya tersebut. Koreografer yang telah menampilkan karya-karyanya di benua Asia, Eropa, dan Amerika ini, sukses menggambarkan bahwa emosi manusia adalah seperti api.
Pertunjukan ‘Fire! Fire! Fire!’ ini telah berhasil menunjukkan kepada penonton kontrasnya pendekatan yang diambil oleh masing-masing koreografer. Diharapkan juga bahwa dengan ditampilkannya seni tari tersebut, masyarakat Asia akan lebih menghargai dan mendukung pertumbuhan tarian kontemporer di kawasan Asia-Pasifik ini.