Tepat tanggal 31 Januari 2013, maskapai Batavia Air resmi berhenti beroperasi. Alasannya? Dikarenakan utang yang sudah jatuh tempo tak dapat dibayar oleh PT Metro Batavia. Maskapai ini terlilit dalam perjanjian sewa pesawat yang dibuat Desember 2009 lalu, yang berlaku hingga Desember 2015. Namun pada Desember 2012, bayaran sewa dari tahun pertama belum juga dilunasi Batavia Air.
“Jatuh tempo utang pada 13 Desember 2012, sebanyak US$ 4.688.004,07,” jelas Bagus Irawan, Humas Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan bukti tersebut, majelis hakim menyatakan perusahaan aviasi PT Metro Batavia berada dalam pailit. Gugatan datang dari International Lease Finance Corporation (ILFC), mengenai pesawat Airbus A330 yang beroperasi sebagai angkutan haji. Namun tender untuk pengangkutan tidak dapat terlaksana oleh pihak penerbangan. Utang pada Sierra Leasing Limited turut menambah daftar panjang Batavia Air. Karena tak dapat membayar sewa pesawat, maka PT Metro Batavia dipailitkan.
“Segenap Management mohon maaf sebesar-besarnya kepada travel agent dan pelanggan. Atasan putusan Batavia Air pailit stop operasi per 31 Januari 2013,” kalimat ini ditulis dalam akun Twitter resmi milik Batavia Air. Kebangkrutan pun resmi dirasakan oleh Yudiawan Tansari, selaku Presiden Direktur Batavia Air. Namun dampak buruk karena situasi tersebut tidak hanya dirasakan oleh pihak manajemen. Para travel agent juga mengalami kerugian akibat bangkrutnya maskapai ini.
“Kami punya dana deposit di Batavia Air sekitar Rp22.000.000.000,-. Karena kami itu kreditur yang kesekian, maka kami tak bisa tarik uang deposit itu,” jelas Pauline Suharno, Ketua Bidang Tiketing Asosiasi Perusahaan Penjualan Tiket Penerbangan Indonesia (Astindo). Dengan menyambut hari raya Imlek, para travel agent Astindo sudah melakukan penambahan dana deposit untuk tiket Batavia. Aktivitas ini dilakukan seiring prediksi akan banyaknya pelanggan yang akan membeli tiket ke daerah untuk merayakan hari raya tersebut. “Seperti kasus Adam Air, kami menggunakan jasa pengacara juga tidak menang. Bahkan ongkos untuk membayar pengacara lebih besar,” tambahnya.
Untuk mengantisipasi timbulnya kerugian yang lebih besar karena pailit Batavia Air ini, maskapai Sriwijaya Air menyatakan siap jika dimintai tolong oleh PT Metro Batavia. Senior Manager Corporate Communication Sriwijaya Air, Agus Sudjono, menyatakan akan mengupayakan membantu mengangkut penumpang Batavia Air. “Siap nggak siap kami akan bantu. Tetapi masalah harga kami lihat lagi, karena struktur harga berbeda,” kata Agus. Sepertinya akan ada banyak pengalihan penerbangan pasca berhentinya pengoperasian pesawat-pesawat Batavia Air.
Mengacu pada situasi penerbangan domestik, di tahun 2010, Indonesia memiliki 27 maskapai. Namun yang saat ini masih beroperasi hanya 15. Sisanya? Tinggal papan nama saja dan sudah tidak beroperasi. “Idealnya, cukup 5-6 maskapai penerbangan besar. Atau maksimal 8 maskapai,” ujar pengamat penerbangan, Didi Sudibyo. Mungkin hal ini perlu dijadikan catatan khusus untuk membenahi dunia penerbangan Tanah Air.