Next
Ups, belum tentu seindah yang dibayangkan!
Berbisnis bersama memang nggak melulu menghasilkan sesuatu yang menyenangkan, tapi untuk belajar berkomitmen, cara ini bisa dicoba. Kenapa nggak seindah yang dibayangkan, sih? Biasanya dalam bisnis, apalagi masih dalam tahap merintis, berbagai masalah sangat mungkin terjadi. Masalah yang paling kerap memicu timbulnya masalah lain adalah soal keuangan, hal ini diakui oleh Rakhma Sinseria, co-founder Coffee Toffee yang menjalankan bisnis bersama sang suami. “Permasalahan keuangan dalam bisnis bersama pasangan memang membuat perselisihan rawan terjadi, itu sudah umum,” jelas Rakhma.
Psikolog Hedy Anggraheini dari UnityAreta Jayasri Jakarta pun membenarkan. “Ada kelebihan tersendiri memutuskan berbisnis dengan pasangan, misalnya, keuntungan yang didapat menjadi keuntungan bersama, tidak jatuh ke pihak lain. Waktu bersama pasangan juga lebih banyak sehingga hubungan dan komunikasi jadi lebih baik,” ungkapnya, “Sementara negatifnya, bila ada masalah atau kerugian, kedua belah pihak harus menanggung masalah tersebut, padahal unsur emosi dari masalah bisnis bisa terbawa ke dalam rumah tangga.”
Jadi, apa yang harus dipersiapkan, diperhatikan, dan dilakukan agar hubungan percintaan dan bisnis bisa sama-sama sukses?
What's On Fimela
powered by
Next
Komitmen & kepercayaan, nomor satu.
Heru Kurnianto Tjahjono—pakar SDM dari MM UMY—menjelaskan bahwa ada 5 hal yang harus ditanamkan saat berbisnis bersama orang lain, terutama pasangan, “Kita harus terbuka pada pengalaman orang, kesepakatan, perubahan, pada pasangan, dan terbuka terhadap tekanan yang dialami.” Fleksibilitas dan keterbukaan membuat masing-masing terus belajar membangun bisnis dengan matang, bukannya saling menggurui atau merasa paling mampu.
“Lakukan segala hal berdua. Kami menjadi satu tim yang kompak,” Rakhma menimpali dengan bangga, “Kalau ada yang bertanya apakah Coffee Toffee bisa berjalan kalau nggak ada saya, jawabannya nggak. Sebaliknya, kalau tanpa Mas Odi juga nggak akan bisa seperti sekarang ini. Jadi, masing-masing punya kontribusi.” Ya, kesuksesan mereka sebagai partner hidup sekaligus rekan bisnis memang patut diacungi jempol. Bahkan, ketika gagal Rakhma mengaku nggak pernah menyesal dengan pilihannya ataupun kehilangan kepercayaan terhadap sang suami.
Pemilik Margaria Group yang berkecimpung di dunia kain batik, Dyah Suminar Zudianto, ikut berbagi pengalaman. Baginya, bisnis bersama pasangan harus didasari dengan komitmen, “Berbisnis ibarat berumah tangga, harus dikelola dengan porsi adil.” Dari sana, dengan sendirinya usaha dan hubungan berjalan mulus karena terorganisasi dengan baik, contohnya Margaria Group yang memiliki makin banyak toko dan pasar yang kian luas.
Next
Bekerja secara profesional….
“Merancang bisnis dengan matang dan detail sangat penting, terutama apakah bisnis itu dipilih berdasarkan keputusan bersama,” lanjut Hedy. Hal ini nantinya menentukan passion dan kesungguhan masing-masing dalam bisnis ini. Hal yang juga harus dipikirkan adalah masalah pembagian hak dan kewajiban supaya nggak saling merasa berhak mengatur maupun memutuskan sesuatu tanpa persetujuan bersama. Walaupun kerja sama makin baik setelah Coffee Toffee kembali eksis, Rakhma juga tak memungkiri kalau perbedaan pendapat antara dirinya dan pasangan pasti terus terjadi. Hal ini karena masing-masing merasa berhak memimpin bisnis yang dibangun bersama.
“Tapi, setelah dua tahun berjalan, kami akhirnya ngobrol serius berdua untuk menentukan mana yang jadi tanggung jawab dan hak masing-masing,” Rakhma menceritakan pembagian kerja antara dirinya dan pasangan, “Bagian depan, yang bertanggung jawab terhadap ekspansi, perkembangan bisnis, itu pasangan saya. Sedangkan saya memegang bagian belakang, menjaga bisnis tetap eksis. Semua bisnis pasti ingin bertumbuh dan berkembang. Nah, saya yang harus menguatkan pondasinya agar ketika berkembang makin kokoh berdiri.”
Next
Menghidupi keluarga, baru kemudian menghidupi usaha.
“Pasangan dalam kondisi keuangan yang kurang menguntungkan memang sangat rawan bertengkar. Bersyukur kami nggak sempat mengalami yang begitu parah. Kalau ingin berbisnis dengan partner hidup, paling nggak yang harus diingat pertama adalah bisa menghidupi keluarga itu dulu agar hubungan tetap sehat, karena kalau bisnis nggak menghasilkan, hal-hal kecil bisa jadi sangat sensitif,” saran Rakhma. Masalah keuangan yang sensitif berpotensi menyebabkan masalah lain timbul, karenanya transparansi dibutuhkan di sini. Selain itu, sebaiknya keuangan pun dibuat terpisah. Alasannya?
Bukan atas dasar ketakutan salah satu pihak berbuat curang, maka kami menyarankan keuangan masing-masing dipisah. Pengaturan keuangan secara jelas, baik untuk keperluan operasional maupun laba, bisa membantu kita dan pasangan untuk lebih teliti dan bijak menggunakannya. Makin transparan pembagian keuangan dalam bisnis, akan makin baik karena masing-masing bisa saling mengingatkan bagaimana memakai uang dengan tepat, termasuk mengalokasikan dana untuk pengembangan bisnis, cadangan untuk keperluan darurat, sampai untuk keperluan berdua. Satu hal lagi, seperti yang Hedy ungkapkan, pemisahan keuangan menghindari kebangkrutan kedua pihak jika suatu saat bisnis merugi.
Next
The power of communication….
Memutuskan membangun usaha sendiri berarti siap menyerahkan hampir 24 jam dalam sehari untuk fokus mengembangkan bisnis tersebut. Ini yang lantas membuat komunikasi antar-pasangan menjadi nggak lagi intens. Masing-masing sibuk dengan tanggung jawabnya dan hanya duduk bersama saat bertemu klien atau meeting rutin. Padahal, sebagai rekan bisnis sekaligus partner hidup, ada komunikasi bentuk lain yang mesti tetap dijaga.
“Ego memang sulit dikendalikan, tapi kalau mau bersikap profesional masing-masing juga harus siap menerima evaluasi, kritikan, untuk memperbaiki diri maupun sistem kerja sama,” jelas psikolog Nanda Dedi Sutomo dari klinik Pusura. Nah, untuk obrolan seserius itu, yang sangat mungkin menimbulkan ketegangan, juga paling pas dibicarakan saat santai. Pillow talk bisa menjadi salah satu cara menjaga keharmonisan dan kehangatan hubungan. Ada satu waktu di mana masing-masing secara rileks, santai, berbincang tentang segala hal, baik masalah rumah tangga maupun urusan bisnis yang sedang digeluti bersama. Daripada membahasnya saat makan siang atau meeting, cara ini lebih efektif untuk “menelurkan” ide baru, strategi pintar, sekaligus melepas beban dan uneg-uneg masing-masing. Inilah enaknya berbisnis bersama pasangan, obrolan bisa dibawa sampai ke ranjang!
"Ego memang sulit dikendalikan, tapi kalau mau bersikap profesional masing-masing juga harus siap menerima evaluasi, kritikan, untuk memperbaiki diri maupun sistem kerja sama."
Daripada menjalankan bisnis seorang diri dan menanggung semua sendiri, lebih baik susah-senang sepenanggungan bareng pasangan. Anggap pasangan sebagai mitra kerja sekaligus mitra ternyaman untuk belajar bersama menghadapi tantangan bisnis. Julia Peres yang juga terjun ke bisnis sekolah sepakbola Champion Soccer School bersama kekasihnya, Gaston Castano, pun merasakan hal itu. Berbisnis bareng pasangan dianggapnya sangat positif karena pertemuan mereka makin intens.
“Justru supaya tidak terpisahkan, selalu ada alasan untuk bertemu. Permasalahan bisnis sama sekali nggak mempengaruhi hubunganku dan pasangan. Demikian juga sebaliknya, masalah dalam hubungan nggak berpengaruh pada bisnis kami. Aku sangat menikmati kerja sama ini," kata Jupe. Bisnis itu dianggapnya sebagai investasi masa depan, “Kalau mengurus bisnis saja nggak becus, bagaimana nanti mengurus rumah tangga?”
So, selain belajar bekerja sama, ternyata berbisnis bersama pasangan sekaligus menjadi cara menguji komitmen dan keseriusan masing-masing mempertahankan hubungan di tengah berbagai tantangan. Bagaimana hasilnya nanti, untung atau malah buntung, tentu bergantung bagaimana usahamu dan si dia. Siap mencoba?