Next
“Siapa bilang orang yang kurang mampu tak bahagia, dan siapa pula yang mengatakan orang kaya, sukses, punya kedudukan tinggi, selalu bahagia? Bukan, bukan cuma itu patokan bahagia dan tidak. Terlalu dangkal kalau kita masih menilai kebahagiaan dari apa yang tampak di muka. Orang kaya atau miskin, sukses atau gagal, tetap akan mengalami tantangan hidup lainnya selama masih menginjak tanah,†ungkap Dwina (25, account officer) yang merasa tak semudah itu mengukur kebahagiaan seseorang.
Benar, Mihaly Csikszentmihalyi dalam bukunya—Flow: The Psychology of Optimal Experience—pernah mengungkapkan bahwa kebahagiaan sejati sama sekali tak ditentukan oleh kejadian-kejadian di luar diri kita, termasuk masalah harta dan kedudukan, tapi bagaimana kita menginterpretasikan semua yang terjadi dalam hidup. Penginterpretasian sendiri identik dengan sikap yang kita pilih saat memandang suatu hal: realistis ataukah pesimis. Positif ataukah negatif. Dan tiap orang punya interpretasinya sendiri.
Next
Realistis vs pesimis saat menginterpretasi keadaan
Apa itu interpretasi yang realistis, dan apa pula interpretasi pesimis? Dengan berpandangan positif, seseorang bisa mengubah situasi yang terlihat tanpa harapan menjadi dapat teratasi, begitulah kira-kira cara menginterpretasi secara realistis (sebelumnya saya sengaja tak menyertakan kata optimis di sini, karena dengan bersikap realistis, artinya kita pun memasukkan unsur optimis di dalamnya, setuju? Lanjut!).
Dalam Kiss that Frog, Brian Tracy dan Christina Tracy Stein pun menjabarkan bahwa kita, manusia, dilahirkan dengan pikiran yang luar biasa, yang mampu mendatangkan kebahagiaan maupun kesedihan, tergantung bagaimana kita menggunakannya. Serupa dengan pandangan Mihaly, bukan? Atau, juga seperti kata John Milton dalam salah satu sajaknya, “Paradise Lost”, pikiran adalah sebuah dunia tersendiri, dia sanggup mengubah surga menjadi neraka, atau neraka menjadi surga. Semua setuju kalau cara pandanglah yang menentukan seseorang itu bahagia atau merasa kecewa!
Next
Pesimis meletakkan kita pada neraka, kesedihan, kesusahan, sementara realistis sebaliknya. Pikiran realistis membuat seseorang melihat dengan kacamata yang apa adanya: tak muluk, dan menempatkan harapan pada tempat yang masih bisa dijangkau. Seseorang menemukan fakta yang terlihat buruk, tapi masih dan akan tetap memiliki harapan untuk mengubah keburukan itu menjadi lebih baik dengan cara yang masuk akal. Membentuk permasalahan beserta solusinya menjadi sebuah konstruksi. Tujuannya jelas, masa depan yang lebih baik.
“Lantas, kenapa realistis menjadi penting dalam hidup kita?” Novi (24, account officer) pun bertanya saat kami berdiskusi bersama di suatu sore. Dwina lalu berbagi pengalaman, “Impian saya sejak awal bekerja adalah mendapatkan banyak uang dan memiliki jabatan tinggi. Mimpi yang sepertinya hampir sama dengan semua orang. Namun, seberapa sih, yang akhirnya bisa mewujudkan impian itu? Setelah bekerja beberapa tahun, saya mulai mengikuti alur. Bukannya menyerah, saya merasa realistis lebih baik. Kalau bekerja setiap hari cuma demi mimpi, saya tak akan bahagia sebelum mimpi itu tercapai. Sekarang, saya selalu berusaha bekerja dengan baik, memanfaatkan kesempatan untuk belajar banyak. Realistis semua akan indah pada waktunya jika kita konsisten berusaha, akhirnya sedikit demi sedikit jalan menuju mimpi akan terbuka dengan sendirinya.”
Kebetulan, saya pun pernah membaca dalam Kiss That Frog bahwa dalam menghadapi hidup, hal yang terpenting adalah menerima. Penting menerima sesuatu terjadi, penting menerima hidup kita berubah dalam waktu singkat, penting menerima seseorang pergi meninggalkan kita, misalnya. Dari sana, barulah kita bisa melanjutkan hidup. Menerima fakta sebagai sebuah kenyataan membantu kita mengendalikan diri dan emosi, dan menjadi optimis, karena dengan terus terpuruk dan berusaha mengingkari yang terjadi, hanya akan melahirkan kepesimisan. Lagi-lagi tentang bagaimana kita menginterpretasikan sebuah situasi, lagi-lagi cara pandang menentukan segalanya. Luar biasa, kan?
Next
Realistis, tapi sebenarnya pesimis…
Bingung membaca subjudul di atas? Padahal, sikap sok realistis sering kita pakai untuk menutupi kepesimisan. Dua sikap yang jelas berbeda, tapi tanpa sadar kerap menjadi sama di mata kita. Dalam Sang Pemimpi, Andrea Hirata menyinggung tentang hal ini: Tanpa kusadari sikap realistis sesungguhnya mengandung bahaya sebab ia memiliki hubungan linear dengan perasaan pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang. Mengapa Andrea menyebut realistis sebagai pedal rem? Karena ia memang senantiasa dalam keadaan “mengambang”. Jika pesal rem tak diinjak, sikap yang mulanya realistis akan menjadi pesimis, kebablasan kata orang Jawa. Tak terkontrol dengan baik. Karenanya, agar rem terus terkendali, kaki kita harus selalu peka dan waspada menunggu saat yang tepat menginjak maupun melepaskan pedal rem tersebut.
Realistis bahwa hidup tak selalu ada di pihak kita, realistis hidup penuh suka dan duka, realistis tiap hari ada tantangan baru yang harus dipecahkan, itu penting. Finalnya, dengan pikiran positif, ada hal baru yang kita peroleh, nilai baik untuk usaha yang terbaik, dan lulus dari pelajaran hidup dengan hasil memuaskan. Berpikirlah realistis untuk melihat bahwa selalu ada solusi paling tepat untuk menyelesaikan sebuah tantangan, bukannya sibuk mengeluh, protes, apalagi mencari siapa, apa, atau bagaimana tantangan itu bisa datang menghampiri. The pessimist complains about the wind, the optimist expects it to change, the realist adjust the sails, kalau kata William Arthur Ward. Ada pelajaran baru yang kamu dapat dari sini? Share!