“Bagaimana menurut anda apabila kasus perkosaan ini dibuat menjadi hukuman mati?” Tanya Andi Azhar kepadanya. Jawaban calon hakim itu membuat semua yang ada di ruang rapat Komisi III DPR tertawa.
“Yang diperkosa dengan yang memperkosa ini sama-sama menikmati. Jadi harus pikir-pikir terhadap hukuman mati,” jawab Daming Sunusi dengan entengnya. Ia menyetujui jika hukuman mati diberikan kepada kasus pidana korupsi dan narkoba, tetapi bukan untuk kasus pemerkosaan. “Untuk kasus perkosaan ya tentu kita harus pertimbangkan lebih dulu,” tambahnya.
Dengan jawabannya itu, Daming Sunusi mendapat protes dari masyarakat luas. Jawabannya dianggap tidak layak sebagai calon hakim agung. Lentera Indonesia, organisasi pendukung korban perkosaan dan pelecehan seksual sangat menolak pernyataan Daming tersebut. Menurut mereka kemampuannya berempati tidak layak untuk menjadikannya seorang hakim agung.
Petisi pun dilayangkan agar Daming Sunusi meminta maaf atas pernyataan yang telah ia sampaikan di rapat Komisi III DPR yang lalu. Salah satu pengusung petisi yang juga merupakan seorang tokoh masyarakat, yaitu Melanie Subono, berhasil mengumpulkan 7730 tanda tangan melalui change.org.
Cara ini merupakan salah satu usaha Lentera Indonesia untuk membangun awareness dan empati masyarakat. Mereka merasa bahwa menumbuhkan perasaan empati di kalangan sosial adalah hal penting. “Karena hanya dengan empati, masyarakat dan penegak hukum dapat memiliki perspektif dan pemahaman yang tepat tentang dampak buruk kekerasan seksual terhadap seseorang,” jelas organisasi tersebut.
Terlepas dari kecaman dan hujatan banyak orang, Daming menyatakan bahwa ia sedang bercanda ketika mengeluarkan pernyataannya. “Kita tadi terlalu tegang, jadi supaya tidak terlalu tegang,” jawaban pembelaan dirinya untuk mencairkan suasana. Namun Wakil Ketua Komisi III, Al Muzammil Yusuf yang hadir di rapat tersebut mengatakan bahwa ia tidak menganggap perkataan Daming sebagai hal yang lucu. “Saya bersama staf di belakang bahkan bilang ini perkataan luar biasa yang dikatakan calon hakim. Dia tidak bisa membedakan pemerkosaan, perzinahan, dengan selingkuh,” tambahnya.
Apapun alasannya, petisi yang dipelopori Lentera Indonesia ini sudah mantap dengan tujuannya. Kekerasan seksual dapat terjadi kepada siapa pun, kapan pun, dan dimana pun, begitu yang ditegaskan oleh organisasi pendukung tersebut. Maka dari itu membangun awareness dan empati masyarakat merupakan goal utama mereka.
Rape is not a joke, never a joke, peringatan tersebut datang dari Wulan Danoekoesomo, perwakilan Lentera Indonesia. “Mungkin Anda tidak peduli karena tidak ada orang dekat Anda yang mengalami. Tapi pernyataan Sunusi adalah state violence,” ia menegaskan.
Semoga saja dengan adanya petisi yang beredar, suara-suara yang dikumpulkan didengar dan memberi dampak positif bagi seluruh masyarakat di Indonesia.