Peraturan Terbaru di Aceh: Perempuan Dilarang Mengendarai Sepeda Motor

Fimela diperbarui 07 Jan 2013, 04:00 WIB

Mengendarai sepeda motor bukan hal yang asing lagi bagi para kaum Hawa. Kendaraan ini sering menjadi pilihan alternatif dalam berpergian. Terlepas dari peraturan keselamatan seperti penggunaan helm bagi para pengendara, pemerintah Aceh baru-baru ini mengeluarkan peraturan barunya, sehubungan dengan standar prosedur keselamatan.

“Perempuan tidak harus duduk mengangkang di sepeda motor karena bisa memprovokasi pengendara laki-laki. Ini juga untuk melindungi perempuan dari kondisi yang tidak diinginkan,” kata Walikota Lhoksumawe, Suaidi Yahya. Keselamatan di sini ternyata bukan dalam artian berlalu-lintas, tapi berkaitan erat dengan norma dan moral Islami. “Apabila seorang perempuan membawa sepeda motor, dia kelihatan seperti seorang lelaki. Jika duduk di tempat duduk tambahan, baru kelihatan seperti perempuan,” tambahnya.

Peraturan ini disetujui oleh seorang anggota legislatif Lhoksumawe, M. Yusuf A. Samad. Menurutnya perempuan mengangkang saat dibonceng di sepeda motor akan membuat lekuk tubuhnya terlihat lebih jelas, dan hal tersebut bertentangan dengan norma agama.

Jika dilihat dari penduduk Lhoksumawe di Aceh, memang kebanyakan beragama Islam. Namun bisa dibilang hukum Syariah yang telah diterapkan beberapa waktu lalu sedikit ekstrim. Seperti contohnya harus berbusana yang layak sesuai dengan agama, bahkan menggunakan jins bisa jadi masalah. Belum lagi adanya penerapan peraturan berkendaraan ini. Sebenarnya dengan duduk mengangkang saat dibonceng, kendaraan motor dan penumpangnya akan lebih stabil dibandingkan jika duduk menyamping saat dibonceng.

Selain itu, peraturan berkendaraan motor tersebut justru menimbulkan nilai prejudis terhadap kaum perempuan. Ketua Komnas Perempuan, Yuniyanti Chuzaifah sangat menentang diberlakukannya peraturan tersebut. Menurutnya, seharusnya pemerintah fokus dalam menyediakan perlindungan bagi para perempuan yang menjadi korban kekerasan, begitu juga halnya dengan bidang pendidikan, bukannya malah membuat peraturan yang tidak jelas tujuannya.

Eva Kusuma Sundari anggota Komisi Hukum DPR (Dewan Perwakilan Rakyat), juga  tidak setuju dengan peraturan larangan membonceng mengangkang bagi para perempuan Aceh. Menurutnya Peraturan itu tidak bijak karena mengabaikan keselamatan para wanita saat berkendara di jalanan. “Peraturan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai kebijakan publik, karena kebijakan publik seharusnya membuat warga menjadi nyaman dan aman, bukan malah sebaliknya merasa resah dan tidak nyaman,” tambahnya.

Terlepas dari pro dan kontranya, peraturan ini akan mulai diterapkan minggu depan di Lhoksumawe, Aceh dan kabarnya akan dikembangkan jadi sebuah regulasi tetap. Kita lihat saja apakah peraturan ini akan berlangsung efektif atau justru sebaliknya.