Next
“Saya tak akan pernah bosan denganmu, karena menikahimu seperti menikahi 12 orang perempuanâ€
Itu yang dikatakan oleh Scott Stevenson, suami saya selama 15 tahun ini, ketika saya bertanya apa dia pernah merasa bosan dengan saya. Itu bukan pernyataan gombal, karena Scott bukanlah laki-laki yang pintar mengumbar janji manis. Maksud suami saya mengatakan kalimat tersebut karena saya adalah perempuan unik yang memang harus ia nikahi. Saya ibarat samudera yang menyimpan begitu banyak rahasia yang tidak habis-habis ia jelajahi. Saya emosional, tapi juga penyayang. Saya keras dan tegas, tapi juga sensitif dan perasa.
Ingatan saya kembali ke tahun 1997 di saat Scott berlutut meminta saya untuk menikahinya. Saya tolak lamaran tulus itu. Karena, saya nggak punya tempat di hati ini untuk mencintai orang lain selain keluarga dan anak hasil hubungan terdahulu. Saya susah untuk percaya dengan orang lain, apalagi kalau orang yang saya anggap asing itu mengajak menikah. Kalau orang lain menikah agar bahagia, saya dulu bisa bilang nggak perlu orang lain untuk membahagiakan saya. I was already happy on my own. Scott tak gentar. Ia datang menemui mama dan meminta izin untuk melamar anak perempuannya sebagai istri. Mama dan saudara perempuan saya sudah jatuh hati pada Scott, sehingga permintaan tulus itu disambut bahagia oleh mereka.
Tahu bahwa anak perempuannya yang keras seperti batu ini masih menutup mata untuk laki-laki sebaik Scott, mama dan adik saya sering sekali berdoa pada Tuhan sambil menangis. Mama lalu ajak saya berbicara empat mata. Ia bertanya apa saya mau membantunya, yaitu dengan cara menerima pinangan Scott. Ia pun lalu menangis, padahal mama sudah lama tak menangis, terakhir ketika papa meninggal. Ia lalu mengatakan kalau ia semakin tua dan suatu hari akan meninggal. Sebelum itu terjadi, ia ingin saya sebagai anak perempuan tertuanya ada yang menjaga. Saya adalah anak yang menjadi guardian untuk semua keluarga saya. Saya akan berdiri di barisan terdepan bila ada yang mengganggu atau menyakiti keluarga saya.
Mama melihat kalau saya tak bisa terus seperti ini. Ia bisa tak tenang di peristirahatan terakhirnya nanti kalau saya berakhir hidup sendirian tanpa ada yang menyayangi dan menjaga seperti saya melakukan hal yang sama untuk keluarga saya. Mama bilang, kalau ia tak pernah meminta apapun untuknya. Kini, ia meminta saya untuk mengikuti permintaannya dengan menikahi Scott. Permintaan itu ia sampaikan dengan tangisan cukup histeris, sehingga membuat saya akhirnya mengiyakan karena ingin membuat mama berhenti menangis. Ya, lamaran Scott akhirnya saya terima dengan niat awal hanya demi menyenangkan mama, bukan karena saya sungguh-sungguh mencintainya.
Next
“Bila hanya ada cinta sebesar ujung kuku untuk saya, berikan itu dan akan saya jaga dengan baik”
Scott mengatakan itu setelah saya sampaikan kalau lamarannya saya terima asal dengan satu syarat, yaitu tak terburu-buru menikah karena saya belum siap. Scott mengiyakannya. Ia dengan sabar menunggu kesiapan saya untuk dinikahi. Sampai suatu hari, setelah sebelumnya saya berdoa lama di gereja karena merasa sendirian dan tak punya pegangan dalam hidup, ia mengatakan kalimat itu dengan tulus. Seperti membuka pintu dengan kunci yang tepat, hati saya sontak tersentuh dan terenyuh dengan kalimat sederhana itu. Tapi, tak seperti di film romantis dimana adegan selanjutnya biasanya adalah berciuman dan berpelukan, saya malah marah-marah dengan Scott. Saya tegaskan jangan sampai kalimat manis itu hanya lip service, tapi ia harus bersungguh-sungguh dalam hati. Scott dengan tenang dan sabarnya berkata, “Keluarkan semua uneg-unegmu, sayang, jangan ditahan-tahan lagi. Kalau dengan cara ini saya bisa mendapatkan jawaban ‘ya’ darimu, saya rela.” Saya menangis dan akhirnya bersedia untuk ia nikahi kapan pun ia mau.
Pernikahan itu akhirnya terjadi di Jakarta pada tahun 1997 dengan dikelilingi oleh keluarga tercinta. Setelah itu, Scott meminta saya untuk ikut dengannya pindah ke Amerika Serikat karena pekerjaannya sebagai banker di Bank Dunia berdomisili di sana. Bila tawaran itu diutarakan kepada Shakila yang dulu, pasti saya akan menolaknya. Namun, saya adalah Shakila yang baru setelah bersama Scott, yang menganggap tak ada yang lebih penting daripada keluarga, dalam hal ini keluarga kecil baru saya yang terdiri dari Scott dan tiga anak kami. Keluarga kecil ini semakin besar dengan kehadiran dua anak perempuan yang manis.
Pernikahan kami berjalan layaknya film. Banyak drama, emosi, dan kasih sayang tertumpah di sana, namun kami selalu saling menyayangi dan menjaga. Saya dengan yakin bisa katakan kalau tak ada kesedihan dalam keluarga kami, it keeps getting better every day. Scott dan anak-anak seperti doorprize dari Tuhan yang terus membuat hidup saya bahagia dan tak membosankan. Sama seperti cara Scott untuk membuat api cinta kami terus berkobar. Pernyataan cinta selalu ia bisikkan di telinga saya. Ajakan date night rutin ia ajukan pada saya di tengah kesibukan pekerjaannya yang berskala internasional. I have a perfect marriage with a perfect husband and kids. Kalau sudah begini, bagaimana saya bisa mengeluh? Makanya, saya selalu berterima kasih kepada Scott karena telah menerima dan mencintai saya tanpa syarat dan sikap judgmental. Tak ada laki-laki lain yang bisa memperlakukan saya dengan baik sebagai perempuan, istri, dan ibu selain dirinya.