True Story: Bertahan 50 Tahun dalam Pernikahan Mengancam Nyawa

Fimela Editor diperbarui 19 Des 2012, 11:00 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Paras cantik dan fisik yang bugar meninggalkan kekaguman sebagai impresi awal saya kepada wanita berusia 70 tahun ini. Sambutan hangat datang lewat senyumannya. “Mohon maaf ya, mbak.Bapak lagi sakit, jadi belum bisa keluar kamar hari ini,” sapa Titi mengawali obrolan saya sore itu. Selama 90 menit, tidak hanya cerita cinta, tapi juga sejarah Indonesia yang saya dapatkan.

Menjadi istri bermental baja dan selalu ada untuk suami

Titi menikahi Brigjen. Pol. Drs. Sunaryo di tahun 1962, di usianya yang ke-20. Wanita mental baja, mungkin sebutan yang cocok untuk Titi Sutriarti. Menikahi seorang polisi berarti bersedia siap 24 jam mental dan fisik. Berkeliling Indonesia, diserang pasukan bersenjata, hingga melihat suaminya berlumuran darah pernah dialaminya. “Saya nggak pernah membayangkan seumur hidup akan melihat suami berlumuran darah sehabis mengejar penjahat. Saat itu saya hamil 7 bulan anak pertama.” Peristiwa tersebut terjadi saat Sunaryo ditugaskan mengejar sekelompok perampok di daerah Sukabumi. Saat itulah Sunaryo mengalami kecelakaan. Bahkan Sunaryo diberitakan meninggal dalam sebuah siaran radio, walaupun sebenarnya yang meninggal adalah satu anggota komplotan perampok tersebut. Pengalaman seperti ini merupakan sedikit dari segudang pengalaman luar biasa yang dialami Titi semenjak menikah dengan polisi.

Mental Titi benar-benar diuji saat Sunaryo terjun langsung dalam peristiwa pemberontakan Timor Timur. Beberapa kali Titi harus ikut mendampingi suami dan bertemu dengan para tentara lainnya saat itu. Masih tergambar jelas pada memori Titi saat ia harus menyaksikan 400 wanita yang ditinggal wafat suaminya pada peristiwa itu, meraung-raung histeris mendatangi kuburan massal tentara. “Hati saya pedih sekali rasanya. Ketika mereka satu persatu memeluk saya, air mata sayapun tidak dapat terbendung lagi,” ingatnya.

Menyambung kisahnya pada masa itu, “Setelah segala upaya dilakukan untuk mempertahankan Timor Timur, pada akhirnya daerah tersebut dilepaskan begitu saja. Saat itu juga Bapak sakit keras. Selama sebulan berat badannya turun hingga 18 Kg. Pilu sekali rasanya.” Yang bisa Titi lakukan adalah terus berada disamping Sunaryo dan menjaganya agar bisa pulih dari perasaan gagalnya itu.

Pribadi Sunaryo yang bersahabat sempat membuat Titi mendapati kejadian aneh di rumahnya. “Suatu hari saya pernah didatangi oleh seorang laki-laki ke rumah. Setelah saya tanya, ternyata dia adalah seorang narapidana yang ditangkap oleh Bapak beberapa tahun lalu dan baru saja keluar dari penjara,” cerita Titi. Ia ingat dari nama laki-laki tersebut bahwa dia ditangkap karena membunuh orang Jepang di daerah Senen. Kepanikan Titi terbaca oleh laki-laki tersebut. Dengan tenang laki-laki itu menjelaskan bahwa kedatangannya ke rumah Titi hanyalah untuk bersilaturahmi dengan Bapak. “Ternyata Bapak itu sering mendatangi para penjahat yang ditangkapnya di penjara. Hubungan Bapak dengan orang-orang tersebut terjalin dengan baik. Sampai-sampai beberapa dari para penjahat itu merasa beruntung pernah ditangkap oleh Bapak”.

Ketika ditanya pernahkah Titi meminta Sunaryo keluar dari pekerjaannya itu? “Tidak,” jawab Titi. “Ini sudah bagian dari janji pernikahan saya untuk selalu mendukung Bapak.” Selama 50 tahunlah, Titi selalu ada untuk Sunaryo.

 

3 dari 4 halaman

Next

 

Antara pertemuan pertama, masa pacaran, dan awal pernikahan

Sunaryo melanjutkan pendidikannya di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Saat itu ia bertemu dengan Titi yang merupakan adik dari salah satu temannya. Masa pacarannya dengan Titi berlangsung selama 5 tahun. “Walaupun pacaran kami lama, tapi sepanjang waktu itu saya jarang pergi berdua. Biasanya sih Bapak jemput saya kalau PTIK lagi ada acara. Tapi itu juga satu bus bersama dengan yang lainnya,” ujar Titi. Selain karena kesibukan masing-masing membuat pasangan ini sulit bertemu, orangtua Titi tidak begitu setuju dengan aktivitas orang berpacaran, dan bukan karena tidak menyukai Sunaryo. “Dulu Bapak sering sekali diusir sama Ibu saya karena kelewat malam di rumah saya. Tapi namanya juga polisi, sepertinya tidak mempan diomeli sekali saja,” Titi tertawa sambil menceritakannya.

Keputusan Sunaryo untuk menikahi Titi cenderung mendadak. Pada masa itu beredar rumor adanya penempatan polisi di daerah-daerah seluruh Indonesia. Ketakutan Sunaryo berpisah dengan Titi membuatnya langsung mengajak Titi segera menikah. “Bapak tidak mau jauh-jauh dari saya, dan satu-satunya jalan hanyalah dengan menikah. Eh, ternyata setelah menikah, Bapak ditempatkan di Kemayoran. Penempatan yang ditakutkan orang-orang banyak ternyata cuma rumor”.

Awal pernikahan Sunaryo dan Titi jelas melalui proses adaptasi. Perbedaan yang paling terasa selama menikah adalah budaya berbicara yang terbawa dari masing-masing asal daerah. Titi berasal dari Blitar, yang identik dengan cara bicara yang to the point sehingga bagi beberapa orang cenderung kasar. Apalagi berhadapan dengan Sunaryo yang asli Jawa Tengah. Tutur kata yang halus lah yang bisa ditangkap telinganya. Menurut Titi, meskipun Sunaryo berbicara halus, namun pesan yang disampaikan sebenarnya mengandung arti lain, sehingga menjadi seperti sarkasme. “Daripada langsung meminta tolong saya mengupas mangga, Bapak lebih memilih bicara seperti, ‘Mangga itu kalau kelamaan didiamkan bisa busuk.’ Hal-hal seperti ini yang dulu susah saya cerna, sehingga tidak jarang memunculkan pertengkaran. Kalau sudah begini, Bapak yang biasanya lebih banyak mengalah”.

 

4 dari 4 halaman

Next

Didikan untuk anak

“Bapak itu bukan polisi biasa. Dedikasinya terhadap pekerjaan sering membuat saya terlalu kagum.” Kedisiplinan adalah hal yang tidak pernah berubah dari Sunaryo. “Ditugaskan di daerah-daerah yang elit pada masa itu, wah, sebenarnya kita bisa kaya raya. Sering sekali ‘amplop’ berdatangan untuk Bapak. Tapi Bapak tidak pernah menerimanya.” Sifatnya ini yang kemudian diturunkan kepada anak-anaknya. “Bapak selalu mengingatkan kepada putri-putrinya bahwa jangan pernah makan hak orang lain.” Menurut Sunaryo, rejeki itu kakinya tiga. Kalau dikejar, larinya lebih cepat dari kita, tapi datangnya juga cepat sekali dan tidak terduga. Titi pun selalu yakin bahwa hal yang keluar dari mulut Sunaryo dan dirinya haruslah sama, “ini ketegasan dari kami berdua. Supaya anak-anak juga bisa tahu persis mana yang benar dan salah.”

Pengalaman yang dialaminya banyak memberikan pelajaran hidup. Di tahun ketujuh pernikahan mereka, Sunaryo sempat sakit keras. Selama dua tahun ia berada di rumah sakit. Perjuangan berat harus sanggup dilakukan oleh Titi. Selain selalu menemani Sunaryo, Titi sendiri harus berjuang menghidupi keluarganya. “Saya akui itu salah satu titik balik kehidupan saya”. Pesan yang paling sering disampaikan oleh Titi dalam obrolan kami adalah bahwa wanita jangan bergantung kepada suami. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan menimpa pasangan kita.

 

Kejadian lucu sampai trauma

Pengalaman mengerikan sampai mendebarkan semua pernah dialami oleh Titi. Tapi justru rasa traumanya bukan dari kejadian-kejadian mencekam tersebut. “Waktu awal menikah dengan Bapak, ia pernah meninggalkan saya di bioskop saat pertengahan film karena ada panggilan tugas. Katanya Bapak mau jemput saya saat urusan sudah selesai. Nyatanya, saya harus menunggu dari jam 9 malam sampai 6 pagi keesokan harinya karena Bapak lupa jemput saya. Semenjak saat itu, saya trauma nonton bioskop,” cerita Titi dengan diselingi tawa.