Bisnis Prostitusi, Eksploitasi VS Pemberdayaan Perempuan

Fimela Editor diperbarui 11 Des 2012, 04:00 WIB
2 dari 4 halaman

Next

Para aktivis mengambil Swedia sebagai contoh negara yang telah menetapkan undang-undang terhadap praktik prostitusi. Hasilnya, prostitusi di jalanan berkurang hingga setengah jumlahnya. Mereka meminta sanksi diberlakukan bagi siapa pun yang ketahuan berkencan dengan pekerja seks komersial, sehingga perlahan orang meninggalkan bisnis ini.

Sementara itu, pendapat lain pun bermunculan. Misalnya, pengaturan dan keterbukaan terhadap bisnis seks dianggap sebagai langkah yang lebih baik ketimbang menjadikannya ilegal. Di beberapa negara seperti Jerman, Austria, dan Belanda, “profesi” pekerja seks komersial bahkan setara dengan masyarakat yang menjalankan usaha lain. Walaupun tak akan menghapus stigma masyarakat, cara ini dinilai aman karena bisa membantu memperbaiki sistem kerja mereka, dan tentunya lebih terkontrol.

Bagaimana dengan Indonesia? Seperti di beberapa negara Asia lain, negara kita memiliki area prostitusi yang dilegalkan, hampir di tiap daerah. Yogyakarta dengan Pasar Kembang (Sarkem), Surabaya dengan Dolly, dan Bandung dengan Saritem, misalnya. Saritem malah ada sejak zaman penjajahan Jepang. Dulu, Saritem menjadi “ladang” perempuan-perempuan pribumi berkebaya yang khusus disediakan bagi para serdadu Jepang.

3 dari 4 halaman

Next

 

Hingga kini, tempat-tempat prostitusi legal tak pernah sepi pelanggan, belum lagi yang membuka bisnis di jalanan, tempat wisata, dan tempat lainnya yang ilegal. Bagaimana budaya Timur yang konon anti seks bebas justru melegalkan bisnis prostitusi, sementara wacana untuk menjadikan bisnis itu ilegal dimunculkan di Barat? PBB sendiri menyerukan legalisasi prostitusi sebagai cara paling tepat untuk pencegahan penyakit menular seksual di Asia dan Pasifik, salah satunya AIDS, dalam laporannya yang dipublikasikan Oktober lalu. Seruan itu berdasarkan hasil penelitian yang tak menemukan bukti “mengkriminalkan” pekerja seks berhasil mencegah penyebaran HIV/AIDS.

Indonesia kini bahkan makin marak dengan perdagangan perempuan dan anak ke luar negeri sebagai penjaja seks. Kemiskinan dipercaya sebagai alasan terkuat, tapi kesuksesan bisnis ini, aku Akifah Elansary, Direktur Korban Tindak Kekerasan dan Perlindungan Korban Kementerian Sosial, tak lepas dari peran aparat. Ada permainan oknum di institusi pemerintahan yang memang mencari keuntungan dari bisnis ini.

Kemudian bisnis prostitusi akhirnya berkembang menjadi pilihan terbaik bagi para perempuan untuk keluar dari permasalahan ekonomi. Alasannya jelas, karena hasil yang diperoleh lebih menggiurkan. Tanpa latar belakang pendidikan dan modal besar, para pekerja seks bisa mendapatkan kesejahteraan yang selama ini diimpikan. Sementara pihak lain ikut “bermain” lantaran keuntungan yang menjanjikan itu. Kemudian menjadi rancu, bisnis ini bentuk nyata eksploitasi, atau malah wujud pemberdayaan perempuan?

“Ibarat lingkaran setanlah, mustahil menghentikan praktik prostitusi karena melibatkan banyak pihak dengan banyak kepentingan. Merasa diberdayakan atau dieksploitasi, tergantung kepentingan masing-masing juga. Yang pasti bisnis ini berhasil menciptakan lahan mencari nafkah, secara tak langsung ikut pula membantu mengurangi angka kemiskinan di negara kita, kan? Ya, mungkin, satu-satunya jalan melegalkannya agar lebih bisa dikontrol praktik maupun risikonya, seperti penyebaran penyakit kelamin. Itu sih, yang aku tahu,” komentar Rina (27 tahun, public relation).

4 dari 4 halaman

Next

 

Pemerintah bukannya tinggal diam melihat fakta ini. Kita pun tahu, pemberdayaan pekerja seks komersial lewat pelatihan keterampilan sudah dijalankan, tapi tak menampakkan hasilnya karena mereka ternyata lebih memilih kembali menjalankan “bisnis” mereka yang jauh lebih menguntungkan. Mungkin, ketidakberhasilan itu karena usaha pemerintah tak didukung dengan pemberlakuan hukum tegas yang membatasi praktik prostitusi ini. Apa karena prostitusi menjadi salah satu aset penting di Asia Tenggara dengan sumbangan pendapatan per kapita hingga miliaran Rupiah, sehingga sayang kalau pemasukan dari sektor ini menghilang, entahlah.

“Tak perlu berasumsi. Kesadaran untuk menghargai diri sendiri, itu yang terpenting bagi kita, para perempuan. Moral dan agama bisa menjadi patokan sekaligus batasan cara pandang dan sikap kita, tapi kalau kita sendiri merasa tak merasa penting menjaga diri dan kehormatan, bagaimana mungkin moral dan agama bisa kita anggap penting? Lepas dari alasan dan tujuan apa pun seorang perempuan terjun ke bisnis prostitusi, wujud dari mencintai diri sendiri ya, cuma dengan menghargai apa yang kita punya dengan baik. Tak memberikannya kepada sembarang orang, tidak juga ‘membisniskannya’,” Janet (25 tahun, fashion writer) berujar. Tapi, kembali lagi, tiap perempuan pun punya cara pandang berbeda tentang konsep mencintai diri sendiri. Bisa jadi, memanfaatkan aset yang dimiliki untuk menghasilkan keuntungan merupakan cara mereka menghargai apa yang dipunya. Hidup kita, pilihan kita.