Next
Perempuan asal Bangladesh, Nurbanu (36 tahun), menderita luka bakar di wajah dan kebutaan permanen setelah dilempar cairan asam oleh mantan suaminya yang tak terima diceraikan karena ketahuan berselingkuh. Hampir 2 tahun kemudian, Nurbanu dipaksa menikah kembali dengan sang mantan suami yang baru keluar dari penjara dan hidup lebih sengsara dari sebelumnya akibat suami yang memperlakukan dirinya semena-mena dan kerap memukulinya. Walaupun begitu, Nurbanu hanya diam dan pasrah, toh kekerasan yang dialaminya, juga perempuan lain yang senasib dengannya, hanya dipandang sebelah mata.
Perempuan asal Afghanistan yang baru berumur 15 tahun ditemukan tewas digorok pada Kamis lalu (29/11) setelah keluarganya menolak lamaran salah satu dari dua tersangka pembunuhan. Ia dibunuh dengan sadis saat akan mengangkut air dari sungai ke rumahnya. Memang, kekerasan terhadap perempuan bukan hal asing lagi di Afghanistan. Menurut data yang dihimpun Oxfam—organisasi sukarelawan Inggris—87% dari mereka pernah mengalami kekerasan psikologis maupun fisik, dan entah berapa persen yang juga mengalaminya tapi lebih memilih bungkam. Bulan Oktober, perempuan 20-an tahun dipenggal oleh keluarga sang suami karena menolak dijadikan pelacur, lalu bulan sebelumnya perempuan 16 tahun dicambuk sebanyak 100 kali dengan tuduhan perselingkuhan, sementara tersangka laki-lakinya hanya dikenai denda.
What's On Fimela
powered by
Next
Perempuan berusia 39 tahun asal Amerika Serikat pun baru-baru ini dipukul menggunakan alat kelamin suaminya, Fred E. Thomas, karena menolak berhubungan intim dengan iming-iming USD 20, setelah sang istri memutuskan berpisah. Kejadian itu berlangsung saat sang istri menginap di rumah Thomas. Laki-laki berumur 62 tahun itu pun berdalih perbuatannya dilakukan lantaran kesal pernikahannya selama 39 tahun berakhir hanya gara-gara sang istri ingin pergi ke Pakistan untuk menemui laki-laki yang baru saja dikenalnya di dunia maya.
Tak berbeda dengan yang terjadi di Indonesia. Kekerasan perempuan sampai dengan tahun 2011 mencapai 119.107 kasus, yang 96%-nya merupakan kekerasan domestik. Artinya, dilakukan justru oleh orang terdekat, seperti keluarga, suami, dan pacar. Tak bisa dipungkiri, menurut Wakil Ketua Komnas Perempuan, Masruchah, sebab kekerasan itu pun masih berhubungan dengan pandangan klasik tentang perempuan yang berstatus lebih rendah, sehingga diibaratkan sebagai “barang”, kepemilikan terhadapnya membuat lawan jenis merasa bisa memperlakukan perempuan semaunya. Negara yang seharusnya memberi perlindungan terhadap hak asasi perempuan pun justru terkadang malah menjadikan perempuan sebagai korban. Masruchah mengambil contoh Peraturan Pemerintah Kota Tangerang yang menyamakan perempuan yang pulang malam dengan pelacur. “Jujur aku baru tahu ada peraturan semacam ini. Jelas aneh dong, kalau perempuan berprofesi sebagai wartawan yang dinas malam, bagaimana? Banyak kan, pekerjaan yang menuntut para perempuan tak mengenal jam malam, apa ya semuanya itu pelacur? Belum tentu,” Ajeng (24 tahun, supervisor) menanggapi.
Next
Sementara para perempuan lain dari berbagai belahan dunia sedang berjuang mewujudkan mimpi dan menyejahterakan kehidupannya, saat ini ternyata masih banyak perempuan yang terjebak pada stigma sebuah negara, budaya, maupun pihak yang menyudutkan posisinya. Perempuan, belum berhenti menjadi objek diskriminasi. Kekerasan terhadap perempuan sendiri diakui Ban Ki-Moon, Sekjen PBB, sebagai pelanggaran HAM yang paling “merajalela” di mana-mana. Membuktikan bahwa tak semua perempuan di zaman modern ini sudah bebas dari ancaman tindakan tak menyenangkan. Ia pun meminta semua negara anggota PBB memenuhi komitmen untuk mengakhiri kekerasan perempuan. Dan untuk menunjukkan keseriusan Komisi PBB mengenai Status Perempuan itu, tahun depan akan diadakan sidang bersama 45 negara anggota yang membahas mengenai pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan.
Lalu bagaimana dengan kita sendiri, sebagai perempuan yang merasa lebih beruntung dari mereka yang mengalami diskriminasi? Bagaimana dengan kita yang bisa dengan bebas mewujudkan mimpi menyikapi kasus demi kasus kekerasan tersebut? Bukan, bukan untuk mendoktrinasi atau menyerukan untuk mulai—atau lebih—peduli terhadap emansipasi, feminisme, dan gerakan semacamnya, melainkan memunculkan keinginan pribadi untuk lebih maju, lebih berpikiran terbuka, dan mempergunakan kebebasan berekspresi sebagai kesempatan emas untuk menunjukkan kelebihan dan komitmen sebagai perempuan modern. Perempuan modern yang tak terlihat lemah, yang tak lagi memberi kesempatan kepada orang lain untuk melakukan kekerasan verbal, apalagi fisik. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan memulainya?