Next
Hidup sebagai selebriti & tergantung teknologi
Kepindahan saya ke New York membuat saya bergidik ngeri. Saya melihat sendiri bahwa betapa lekatnya hidup manusia modern dengan ponsel mereka masing-masing. Banyak sekali orang yang menyeberang jalan besar di tengah lalu lintas ramai tanpa peduli melihat keadaan karena pandangan mereka terpaku pada layar ponsel. Belum lagi, ponsel itu menjadi alat penghubung seseorang ke dunia luar melalui internet kapan saja. Take a picture and it goes everwhere easily.
Itulah yang membuat saya sangat marah ketika ada seseorang yang seenaknya memfoto saya ketika bersama anak, karena itu melanggar hak privasi. Entah kapan ketergantungan terhadap hal ini bisa hilang. Karena, berdasarkan pengalaman saya saat mengalami mati lampu massal pascabadai Sandy bulan lalu, betapa itu menjadi sebuah momen yang langka dan mimpi buruk untuk banyak orang. Kita sangat tergantung dengan komputer, ponsel, dan merasa gelisah untuk mengecek e-mail, tapi itu semua harus terhenti begitu saja ketika tak ada lagi listrik. Tampak seperti hidup berhenti begitu saja karena semua akses terputus. Namun, bagi saya itu malah momen yang indah. Terputus dari komunikasi dunia luar sesekali bisa jadi hal yang menyenangkan, apalagi bila selama ini selalu berada di mata publik.
Just a regular woman, not a celebrity
Ada yang bertanya, apa yang harusnya saya lakukan di usia 20-an, namun hingga kini belum saya lakukan. Jujur, ini susah saya jawab. Bila kamu tumbuh dan hidup di sekitar orang rebellious seumur hidupmu, maka yang kamu inginkan hanya menjalani hidup seperti apa adanya. Seperti ide untuk membuat tato, nope, it’s not my kind of thing. Saya nggak merasa perlu untuk membuat tato karena orang tua saya sudah membuat tato atas nama saya di tubuh mereka. Begitu juga dengan kedua saudari saya. Jadi, untuk apa saya buat lagi?
Ketika orang mengharapkan cerita fantastis tentang hidup saya, maka di saat itulah mereka akan mendapati kenyataan kalau hidup saya sangat membosankan. I’m so boring karena melakukan hal yang sama selama hidup saya. Yang membuat hidup saya berbeda hanyalah pekerjaan ini, dengan tantangan yang selalu berbeda seiring bergantinya proyek film yang saya jalani. Seperti ketika membintangi “The Incredible Hulk” dimana saya harus berakting 18 jam setiap harinya dan tanpa lawan main karena tokoh Hulk sendiri adalah rekayasa komputer. Tapi, itulah enaknya kerja di dunia seni, karena saya selalu mendapatkan energi baru dari pekerjaan yang berbeda-beda.
What's On Fimela
powered by
Next
Jika saya bukan Liv Tyler seorang aktris…
Mungkin saya akan menjadi seorang terapis facial atau bekerja di beauty spa. Menurut saya, pekerjaan di bidang seperti itu adalah yang paling cocok untuk saya. Saya selalu senang membuatkan krim-krim kecantikan atau masker untuk teman-teman perempuan saya, sehingga saya merasa itulah hal yang paling baik saya lakukan, ketika bidang akting dan modeling bukan pilihannya.
Laki-laki di mata saya…
Saya nggak punya tipe khusus secara fisik untuk seorang laki-laki. Apa yang membuat saya tertarik dengan satu seseorang, nggak bisa dipatok oleh satu kriteria khusus. Itu membuat laki-laki yang saya cintai selalu berbeda antara satu sama lain. Ketertarikan itu bisa ada tidak dengan cara instan, karena saya membutuhkan proses untuk menyadari ada sesuatu yang istimewa dari laki-laki itu.
Next
Peran terpenting: menjadi ibu
Untuk akting, saya sudah dan masih ingin mencoba banyak hal dan peran. Tapi, untuk kehidupan nyata, saya sudah tahu sejak lama kalau saya ingin sekali menjadi ibu. Walaupun harus melewati transformasi secara fisik yang sungguh drastis dan proses persalinan yang saya anggap sebagai hal paling berani yang pernah saya lakukan. Saya nggak keberatan dengan itu. Saya rasa saya adalah ibu yang beruntung, karena dikaruniai anak yang sangat manis, perhatian, baik, dan penurut. Sifat terakhir ini yang sangat saya syukuri, karena ia sangat jarang bertingkah yang membuat pusing kepala atau saya sedih. Saya hanya cukup bilang tidak dan dia akan mengikuti apa yang saya bilang. Bagaimana saya membentuknya untuk menjadi seperti itu? Saya tak tahu, karena saya nggak menerapkan metode pengasuhan khusus untuknya. Saya hanya berusaha untuk menjadi ibu yang jujur menjelaskan apapun kepada anak saya. Saya nggak ingin Milo mengalami apa yang saya jalani. Dulu saya kira ayah saya adalah Todd Rundgren, ternyata Steven Tyler adalah ayah biologis saya, dimana fakta itu ditutupi dan disembunyikan karena nggak ingin membuat saya sedih.
Belajar dari hal itu, saya sebagai ibu memang harus melindungi anak saya, namun tidak dengan cara menyembunyikan hal yang seharusnya ia tahu. Saya akan jelaskan sebaik mungkin apapun yang ia harus tahu. Ia tanya, maka akan saya jawab. Untuk pembagian waktu, pada dasarnya saya adalah ibu pada umumnya, namun dengan pekerjaan yang tak biasa. Seperti sekarang ini, saya berada di Thailand dan sangat jauh darinya. Pernah juga saya meninggalkan selama sebulan untuk syuting. Tapi, ini nggak membuat saya merasa bersalah, karena saya pun merasa masih berhak untuk menjalani profesi yang saya suka sebaik mungkin. Saya membayarnya dengan menjalankan peran saya sebagai ibu ketika berada di dekatnya, menghabiskan seharian penuh dengannya. Keseimbangan seperti itu yang berjalan di hidup saya.
Thank you so much for P&G Indonesia for this precious opportunity